A. Latar
Belakang Masalah
Syari’at Islam sebagai ajaran wahyu
dapat dipetakan menjadi dua kelompok. Pertama ajaran Islam yang bersifat
absolut, universal dan permanen tidak
berubah dan tidak dapat dirubah. Termasuk kelompok ini adalah ajaran Islam yang
tercantum dalam al-Qur’an dan hadis mutawatir, yang penunjukkannya telah
jelas ( qat’i ad-dalālah ). Kedua ajaran Islam yang bersifat
relatif, lokal dan temporal yang senantiasa mengadaptasi perkembangan dan
perubahan zaman. Termasuk dalam kelompok kedua ini adalah ajaran Islam yang dihasilkan
melalui proses ijtihad.[1]
Ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses
ijtihad ini, banyak melibatkan otoritas rasio dan kreatifitas manusia.
Selanjutnya mendapat perhatian terbesar para ulama. Begitu besarnya perhatian
ulama terhadap permasalahan ijtihadiyyah tersebut dapat dilihat misalnya
dari lahirnya imam-imam mazhab fiqih sunni, Abu Hanafah, Malik, Asy-Syafi’i dan
Ahmad. Namun demikian produk ijtihad para ulama mujtahid yang pada umumnya
ditulis dan dikodifikasikan pada abad kedua itu, sebagiannya ada yang kurang
relevan lagi dengan kondisi sekarang. Karena bagaimanapun priode ijtihad
tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi aktual pada masa itu. Adalah tugas
para ulama kontemporer sebagaimana dikemukakan oleh Yūsuf al-Qaradawī,
memperbaharui dan mereformulasi produk ijtihad tersebut. Termasuk ijtihad di
bidang zakat, dengan mengadaptasi perubahan dan perkembangan mutakhir di
kalangan masyarakat.[2]
Dalam kerangka pemikiran yang
demikian, zakat di samping sebagai salah satu bentuk ibadah yang menempati
posisi ketiga dalam rukun Islam,di sisi lain dapat dikategorikan sebagai
kewajiban sosial, yang karenanya
pengembangan dan pelaksanaannya dapat difikirkan dengan jalan ijtihad.[3]
Adapun salah satu persoalan yang
timbul saat ini adalah berkaitan dengan al-amwāl az-zakāwiyyah (harta
benda yang wajib dikeluarkan zakatnya). Hal ini karena di dalam Hadis Nabi SAW
telah dijelaskan dengan gamblang tentang jenis-jenis harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya, seperti: emas, perak, gandum, sya’ir kurma, unta,
lembu dan kambing.[4]
Sementara perubahan dan perkembangan kondisi menimbulkan wujud-wujud baru dari
harta benda dan cara-cara baru dari pengembangan dan perolehan harta benda,
seperti timbulnya berbagai macam jenis-jenis usaha, yang pada umumnya
jenis-jenis usaha yang ada sekarang ini belum dikenal pada masa Rasulullah,
sahabat maupun pada masa diletakkannya hukum fiqh, sehingga usaha-usaha yang
sifatnya baru belum masuk pada fiqih zakat yang ada. Dalam menghadapi hal ini
ulama fiqih berbeda pendapat, sebagian ulama perpegang teguh pada aspek
tekstual hadis, sehingga mereka hanya mewajibkan zakat pada harta kekayaan
sebagaimana tersebut di atas, sementara yang lain mencoba menelusuri illat
yang melatarbelakangi kewajiban zakat pada
kekayaan-kekayaan tersebut. Yakni disifati an–namā’ (berkembang),
karenanya mereka mewajibkan zakat pada seluruh jenis harta yang memiliki illat
tersebut.
B. Pokok Masalah
Dari latar
belakang yang penyusun deskripsikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimanakah praktek pelaksanaan zakat Desa Harjowinangun Barat dalam tinjauan hukum Islam.
C. Tujuan
Dan Kegunaan
1.
Tujuan
Memberikan
gambaran tentang pelaksanaan zakat di Desa Harjowinangun Barat, dalam
tinjauan hukum Islam.
2.
Kegunaan
a.
Sebagai sumbangan pemikiran
dalam rangka memperkaya khazanah pengetahuan tentang hukum Islam, terutama yang
berkaitan erat dengan kewajiban pengeluaran zakat hasil usaha
b.
Diharapkan dapat berguna
bagi para teorisi, praktisi dan peneliti dalam bidang hukum Islam, juga dapat
menjadi bahan bahasan lebih lanjut, sehingga dapat berguna bagi umat Islam
khususnya dan bangsa Indonesia
umumnya.
BAB II
GAMBARAN UMUM
TENTANG ZAKAT
A. Pengertian dan
Dasar Hukum Zakat
1.
Pengertian Zakat
Zakat secara etimologi merupakan bentuk isim
masdar dari akar kata yang bermakna an-namā’(tumbuh),
al-barakāh (barakah), at-tahārah (bersih), as-salāh
(kebaikan), safwatu asy-Syā’i (jernihnya sesuatu)[5], dan al-madu (pujian)[6].
Pengertian zakat secara
etimilogi ini terangkum dalam ayat:
خذمن أموالهم صدقة تطهّرهم وتزكّيهم بهاوصلّ عليهم[7]
Ayat tersebut bermaksud bahwa zakat itu akan membersihkan,
mensucikan dan menumbuhkan pahala orang yang melaksanakannya.[8]
Adapun pengertian zakat secara terminologis, para ulama memberikan
rumusan yang berbeda-beda, diantaranya adalah:
a.
As-Sayyid
Sabiq
اسم
لما يخرجه الانسان من حقّ الله تعالى الى الفقراء وسميت زكاة لما يكون فيما من
رجاء البركة وتزكية النّفس[9]
b.
Abdurrahman
Al –Jazāirī
الزكاة هو تمليك مال مخصوص لمستحقه بشرائط مخصوصة[10]
c.
Muhammad Asy - Syaukani
d.
Hasbi Ash
Shiddieqy
Sebagian dari harta orang kaya yang telah ditentukan
kadarnya oleh agama pada sebagian jenis harta dan telah ditentukan nisabnya
pada sebagian jenis harta yang lain.[12]
Dari beberapa
definisi ulama di atas dapat disimpulkan bahwa zakat adalah bagian dari harta
yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang
tertentu, dengan syarat-syarat tertentu pula.[13]
Kata zakat dalam
arti terminologi oleh al-Qur’an disebut 30 kali, yaitu 27 kali disebut dalam
satu konteks dengan shalat, dan dari 30 kali sebutan tersebut, terdapat 8
sebutan yang berada pada surat-surat yang turun di Makkah dan sisanya berada
pada surat-surat yang turun di Madinah.[14]
Dari beberapa ayat
al-Qur’an, kata zakat banyak sekali yang dihubungkan dengan kata salat dan kita diperintahkan untuk melaksanakannya seperti yang terdapat
dalam surat
al-Muzzammil ayat 20, sebagai berikut:
Di samping itu, al-Qur’an juga
mengecam keras bagi orang yang tidak mau menunaikan perintah zakat tersebut,
sebagaimana yang disinyalir dalam surat
At- Taubah ayat 34, sebagai berikut:
والذّين
يكنزون الذّهب والفضّة ولاينفقونهافىسبيل الله فبشّرهم بعذاب اليم[16]
Dengan demikian jelaslah bahwa zakat
merupakan salah satu kewajiban atas semua
umat Islam yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
nas-nas al-Qur’an, al-Hadis dan Ijma ulama.
Zakat dalam
hirarkis hukum Islam merupakan rukun Islam ketiga, yang wajib dilaksanakan oleh
setiap muslim, yang disyari’atkan pertama kali pada bulan Syawal tahun II
Hijriyah di Madinah. Kewajiban zakat itu bila ditinjau dari kekuatan hukumnya
sangat kuat karena mempunyai dasar hukum nas yang sudah pasti, seperti tersebut
dibawah ini:
a.
Al-Qur’an
وهوالذّي
انشأجنّات معروشات وغيرمعروشات والنّخل والزرع مختلفاأكله والزيتون والرّمان
متشابها وغيرمتشابه كلوا من ثمره
إنّ الذّين امنواوعملواالصّالحات واقامواالصّلوة
وأتواالزّكوة لهم
اجرهم عند ربهم ولاخوف عليهم ولاهم يحزنون[19]
b.
Al-Hadis
بنىالاسلام
علىخمس شهادت ان لآاله الاّالله وانّ محمّدارسول الله واقام الصلاة وايتاءالزكاة
والحجّ البيت وصوم رمضان[20]
يأمرنابالصّلاة
والزكاة والصلة والعفا ف[21]
a.
Ijma’
Yaitu adanya kesepakatan semua umat Islam di semua
negara bahwa zakat adalah wajib. Bahkan,
para sahabat Nabi SAW sepakat untuk membunuh orang-orang yang enggan
mengeluarkan zakat dan mereka tergolong orang kafir dalam pandangan ulama.[22]
- Syarat-syarat Zakat
Untuk membatasi pengertian syarat,
penyusun berpegang pada makna syarat yang berarti: hal-hal atau sesuatu yang
ada atau tidak adanya hukum tergantung ada dan tidak adanya sesuatu itu.[23]
Dari
pengertian tersebut, syarat dalam zakat ada dua, yaitu:
a.
Syarat
zakat yang berhubungan dengan subyek
atau pelaku (muzakkī : orang yang terkena wajib zakat) adalah Islam,
merdeka, balig dan berakal.[24]
b.
Syarat-syarat
yang berhubungan dengan jenis harta (sebagai obyek zakat)
Mengenai
jenis harta (kekayaan) yang menjadi obyek zakat secara umum telah disebutkan
dalam al-Qur’an, kemudian diperincikan dan diperjelas dalam hadis-hadis nabi,
menyangkut pada lima kelompok harta, namun macam- macam jenis harta tersebut,
tidak sebagai pembatasan yang mutlak dan bersifat mati, akan tetapi additional yaitu sesuai dengan waktu itu.[25]
Dari
sini dapat diambil kesimpulan bahwa pada prinsipnya jenis (macam-macam) harta
yang menjadi obyek zakat adalah harta yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:[26]
1)
Milik penuh
Artinya penuhnya
pemilikan, maksudnya kekayaan itu harus berada dalam kontrol dan dalam
kekuasaan yang punya, (tidak bersangkut di dalamnya hak orang lain), baik
kekuasaan pendapatan maupun kekuasaan menikmati hasilnya.
2) Berkembang
Artinya harta itu
berkembang, baik secara alami berdasarkan sunatullāh maupun bertambah
karena ikhtiar manusia. Makna berkembang di sini mengandung maksud bahwa sifat
kekayaan itu dapat mendatangkan income, keuntungan atau pendapatan.
Dengan begitu nampak jelas bahwa jenis atau macam-macam harta (kekayaan) tidak
hanya yang dijelaskan dalam hadis nabi, melainkan pada harta yang mempunyai
potensi dapat dikembangkan atau berkembang dengan sendirinya.
3)
Mencapai Nisab
Artinya mencapai jumlah
minimal yang wajib dikeluarkan zakatnya. Contoh: nisab ternak unta adalah lima ekor dengan kadar
zakat seekor kambing. Sehingga apabila jumlah unta kurang dari lima ekor maka belum wajib dikeluarkan
zakatnya. Adapun ketentuan nisab zakat ini berdasarkan hadis Nabi SAW sebagai
berikut:
4) Lebih dari kebutuhan pokok
Artinya harta yang
dipunyai oleh seseorang itu melebihi kebutuhan pokok yang diperlukan oleh diri
dan keluarganya untuk hidup wajar sebagai manusia.
5) Bebas dari hutang
Artinya harta yang
dipunyai oleh seseorang itu bersih dari hutang, baik hutang kepada Allah (nażar
atau wasiat) maupun hutang kepada sesama manusia.
6) Berlaku setahun
Suatu milik dikatakan
genap setahun menurut al-Jazaili< dalam kitabnya Tanyinda
al-Haqā’iq syarh Kanzu Daqā’iq, yakni genap satu tahun dimiliki.[28] Hal ini sebagai mana dalam hadis Nabi SAW diriwayatkan oleh Ibnu
Umar, sebagai berikut:
Tahun yang dimaksud adalah hitungan tahun
Qamariyyah. Syarat ini hanya terbatas pada jenis harta: ternak, emas perak dan
harta dagangan, masuk dalam istilah zakat modal. Untuk hasil pertanian,
buah-buahan, harta karun dan yang sejenis disebut zakat pendapatan, tidak
disyaratkan satu tahun.[30]
- Rukun Zakat
Adapun
yang termasuk rukum zakat adalah:
a.
Pelepasan
atau pengeluaran hak milik pada sebagaian harta yang dikenakan wajib zakat
b.
Penyerahan
sebagian harta tersebut dari orang yang mempunyai harta kepada orang yang
bertugas atau orang yang mengurusi zakat (amil zakat).
Zakat menurut garis besarnya terbagi
menjadi dua, yaitu: zakat harta atau biasa disebut zakat mal dan zakat
jiwa atau biasa disebut zakat fitrah.
1.
Zakat
Mal
Zakat mal adalah bagian dari harta
kekayaan seseorang (juga badan hukum), yang wajib dikeluarkan untuk golongan
orang-orang tertentu setelah dimiliki dalam jangka waktu tertentu dan dalam
jumlah minimal tertentu.[32]
Di dalam al-Qur’an, Allah SWT tidak
merinci secara detail tentang harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya.
al-Qur’an juga tidak menjelaskan tentang kadar prosentase kewajiban zakat
tersebut. Tetapi Allah telah memberikan amanat kepada Rasul-Nya Muhammad SAW
untuk menjelaskan dan merinci hal tersebut, dalam bentuk sunnah, baik yang qauliyah
maupun yang amaliyah. Hal ini merupakan perwujudan dari firman Allah
sebagai berikut:
Pada mula-mula zakat difardukan tanpa
menyebutkan secara gamblang tentang harta apa saja yang harus dizakati,
demikian juga dengan ketentuan kadar zakatnya. Syara’ hanya menyuruh
mengeluarkan zakat. Demikian keadaan itu berjalan hingga tahun ke dua Hijriyah,
dan mulai dari tahun Hijriah inilah syara’ menentukan harta-harta yang
dizakatkan, serta kadarnya masing-masing.[34]
Adapun mengenai harta kekayaan yang
wajib dizakati para ulama sepakat ada empat macam, yaitu:
a.
Emas Perak
b.
Binatang
ternak
c.
Tanaman
dan buah-buahan
a. Emas dan Perak
Dasar diwajibkannya zakat pada emas dan
perak ialah firman Allah SWT, sebagai berikut:
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan
bahwa mengeluarkan zakat dari emas dan perak wajib hukumnya. Syara’ telah
menegaskan bahwa emas dan perak yang wajib dizakati ialah emas dan perak yang
sampai nisabnya dan telah cukup setahun dimiliki, terkecuali emas dan perak
yang baru diperoleh dari galian, maka tidak disyaratkan cukup setahun.[37]
Adapun emas tidak wajib dikeluarkan
zakatnya hingga banyaknya mencapai 20 dinar, sedangkan untuk perak
nisabnya 200 dirham. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
sebagai berikut:
فإذاكانت
لك مائتادرهم وحال عليهاالحول ففيهاخمسة دراهم ليس عليك شئ يعنىفىالذّهب حتّى يكون
لك عشرون دينارافإذاكانت لك عشرون ديناراوحال عليهاالحول ففيهانصف دينار فمازاد
فبحساب ذ لك[38]
قدعفوت
عن الخيل والّرقيق فهاتوا صدقة الّرقةمن كلّ
اربعين درهما درهماوليس
في تسعين ومائة شئ فاذا بلغت ما ئتين
ففيهاخمسة دراهيم[39]
Adapun menurut perhitungan, nisab emas
20 dinar tersebut kurang lebih 94 gram, sedangkan nisab perak 200 dirham
kurang lebih 624 gram, untuk kadar zakat masing-masing adalah 2,5%.[40]
b. Binatang ternak
Dalil yang menunjukkan adanya kewajiban
zakat atas binatang ternak adalah hadis Nabi riwayat
al-Bukhari dari Abī Żar, sebagai berikut:
مامن
رجل تكون له ابل أوبقرأوغنم لا يؤ دّى حقّهاإلاّأوتي بهايوم القيامة اعظم ماتكون
وأسمنه تطؤه بأخفافهاتنطحه بقرونها كلمّاجازت أخراهاردّت عليه اولاهاحتّى يقض بين
النّاس[41]
Dari hadis tersebut di atas, jumhur ulama sepakat bahwa
binatang yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah unta, sapi, kerbau dan kambing.
Adapun syarat binatang ternak yang wajib dizakati adalah:
1).
Jumlahnya mencapai nisab
2). Telah melewati masa satu tahun
3). Digembalakan di
tempat penggembalaan umum, yakni tidak diberi makan di kandangnya, kecuali
jarang sekali
4). Tidak digunakan
untuk keperluan pribadi pemiliknya, seperti untuk mengangkut barang, membajak
sawah dan sebagainya.[42]
Nisab ternak dan kadar
zakat antara ternak satu dengan yang lain barbeda. Pada bagian ini akan
dijelaskan tentang nisab dan kadar zakat masing-masing.
Unta
Nisab unta adalah lima ekor, dengan kadar
zakat seekor kambing. Adapun jika lebih dari nisab maka dapat dilihat tabel
berikut:
Tabel I
Nisab dan Kadar zakat
Unta
Nisab
|
Kadar Zakat
|
5 – 9
|
1 ekor kambing
|
10 – 14
|
2 ekor kambing
|
15 – 19
|
3 ekor kambing
|
20 – 24
|
Bintu Mahdah
|
25 – 35
|
Bintu Labun
|
36 – 45
|
Hiqqah
|
46 – 60
|
Jidzal
|
61 – 75
|
2 ekor bintu labun
|
91 – 90
|
2 ekor hiqqah
|
91 – 120
|
2 ekor bintu labun
|
Ketentuan nisab tersebut
berdasarkan hadis Nabi SAW, riwayat al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri sebagai
berikut:
Sapi
Nisab sapi adalah 30 ekor dengan
kadar zakat satu ekor sapi jantan atau betina umur satu tahun. Jika jumlahnya
lebih dari jumlah tersebut, maka dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel II
Nisab dan Kadar Zakat Sapi
Nisab
sapi
|
Kadar Zakat
|
30 – 39
|
1 ekor lembu
umur 1 tahun
|
40 – 59
|
2 ekor
lembu musinnah
|
60 – 69
|
2 ekor
lembu tabi’I
|
70 – 79
|
2 ekor
lembu tabi’I, 1 musinnah
|
80 – 89
|
2 ekor
lembu betina umur 2 tahun
|
90 – 99
|
3 ekor
lembu umur1 tahun
|
100 – 119
|
1 ekor
lembu umur 2 th + 1 sapi umur 2 th.
|
120 –
seterusnya
|
3 ekor
lembu umur 2 th + 4 sapi umur 2 th
|
Ketentuan nisab sapi tersebut, berdasarkan hadis Nabi
saw dari Mu’ad, sebagai berikut:
Kambing
Sedangkan untuk nisab
kambing[45] adalah 40 ekor, dengan kadar zakat 1 ekor kambing, ini berlaku
untuk jumlah 40-120 ekor, dan apabila lebih maka dapat dilihat tabel berikut:
Tabel
III
Nisab
dan Kadar Zakat Kambing
Nisab
kambing
|
Kadar
zakat
|
40-120
|
1 ekor kambing
|
121-200
|
2 ekor
kambing
|
201-300
|
3 ekor
kambing
|
301-400
|
4 ekor
kambing
|
Ketentuan
nisab tersebut baerdasarkan hadis Nabi SAW:
c. Tumbuh-tumbuhan
(Hasil pertanian)
Dalil yang menunjukkan adanya kewajiban
zakat atas hasil pertanian adalah
firman Allah SWT:
Ayat ini memerintahkan untuk
mengeluarkan zakat dari apa yang dikeluarkan dari bumi.
Mengenai kewajiban zakat hasil
pertanian ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Namun mereka masih
berbeda pendapat tentang jenis pertanian yang wajib dizakati. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:[48]
1).
Al-Hasan
al-Basri, as-Sauri, dan as-Sya’ti berpendapat bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati
hanya empat macam jenis tanaman, yaitu: gandum, kurma, padi dan anggur. Selain
empat macam tersebut tidak wajib zakat.
2).
Imam Abu
Hanifah, berpendapat wajib dizakati semua hasil tanah yang diproduksi oleh
manusia, dengan sedikit pengecualian antara lain pohon-pohonan yang tidak
berbuah
3).
Imam Malik
berpendapat, wajib dizakati semua hasil bumi yang bisa tahan lama dan dan
diproduksi oleh manusia.
4).
Imam
asy-Syafi’i berpendapat, wajib dizakati semua hasil bumi yang memberi kekuatan
(mengenyangkan), bisa tahan lama dan diproduksi oleh manusia. Ketentuan
berdasarkan firman Allah, sebagai berikut:
وهوالذي انشأجنّات معروشات وغيرمعروشات
والنّحل والزّرع مختلفااكله والزيتون والرّمّان
متشابهاوغير متشابه كلوامن ثمره اذا أثمرواتواحقّه يوم حصاده [49]
Sedangkan Mahmud Syaltout berpendapat
bahwa wajib dizakati semua tanaman dan buah-buahan yang diproduksi manusia,
berdasarkan firman Allah, sebagai berikut:
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa
semua hasil bumi wajib dizakati tanpa terkecuali, termasuk pula hasil yang
terkena pajak (kharajiyiiah), Adapun zakat hasil bumi itu berkaitan
dengan masa panennya bukan setahun sekali, akan tetapi lebih dari sekali
setahun atau sebaliknya bisa lebih dari setahun sekali zakatnya jika tanaman
itu panennya lebih dari setahun.[51]
Adapun nisabnya adalah bila telah
mencapai lima wasak,
sebagaimana hadis riwayat Muslim dari Ishak bin Mansur, sebagai berikut:
ليس في حبّ
ولا تمرّ صدقة حتىّ يبلغ خمسة او سقّ ولا فيماذون خمس دون صد قة ولا فيمادون خمس أواق صدقة[52]
Sedangkan kadar zakatnya adalah 10%
bila disiram dengan air sungai atau air hujan, dan 5% jika diairi dengan kincir
yang ditarik oleh binatang atau disiram dengan alat yang memakan biaya. Hal ini
berdasarkan pada hadis riwayat al-Bukhari dari Salim bin Abdullah:
Adapun menurut perhitungan yang telah
ditetapkan oleh departemen agama lima
wasaq adalah 750 kg beras atau 1350 kg gandum kering.[54]
d.
Harta Perdagangan
Yang dimaksud dengan
harta perdagangan adalah semua bentuk harta yang diproduksi untuk dijualbelikan
dengan bermacam-macam cara dan membawa kenaikan dan manfaat bagi manusia.[55]
Adapun dalil yang
menunjukkan adanya kewajiban zakat pada harta perdagangan adalah firman Allah:
Ayat ini mengandung
makna bahwa wajib bagi semua harta yang dipergunakan dalam usaha kerja yang
produktif untuk dikeluarkan zakatnya. Demikian pendapat Iman Abu Bakar Ibn
Arabi dalam Ahkām al-Qur’ānnya, juga Imam al-Razi yang dikutip
oleh Yūsuf al-Qaradawi.[57]
Pendapat mereka diperkuat lagi dengan hadis Nabi saw sebagai berikut:
Mengenai zakat tijarah
ini, ulama zahiriyyah berbeda pendapat, bahwa tidak wajib dikeluarkan zakatnya
atas harta perdagangan.[59]
Adapun syarat harta
benda menjadi tijarah menurut Ibnu Qudamah yang dikutip oleh as-Sayyid
Sabiq dalam Fiqh as-Sunnahnya ada
dua macam syarat, yaitu:
1.
Hendaklah
dimiliki secara nyata seperti dari jual beli
Disamping kedua syarat
tersebut, harta perdagangan itu juga harus mencapai nisab dan haul. Adapun
nisabnya adalah seharga 20 misqal emas atau 94 gram emas murni,
sedangkan kadar zakatnya adalah 2,5%.[61]
Adapun cara mengeluarkan zakat barang
dagangan tersebut menurut Maimun bin Mihram, Hasan al-Basri dan Ibrahim Naba’i
yang dikutip oleh Yūsuf al-Qaradawī dalam bukunya Fiqh az-Zakāh
adalah sebagi berikut: apabila sudah tiba waktu untuk mengeluarkan zakat,
hitunglah berapa jumlah uang kontan yang ada, barang yang ada dan hitunglah
nilai barang itu secara piutang yang ada pada orang yang mampu, kemudian
keluarkanlah hutangnya, baru dikeluarkan zakatnya.
2. Zakat Nafs
Zakat ini biasa disebut dengan zakat
fitrah atau zakat fitri, karena zakat ini dihubungkan dengan bulan suci Ramadan
dan hari raya Idul fitri.
Zakat fitri adalah pengeluaran yang
wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mempunyai kelebihan dari nafkah
keluarga yang wajar pada malam hari raya Idul fitri, sebagai tanda syukur
kepada Allah karena telah selesai menunaikan ibadah puasa.
Zakat ini disyari’atkan pada bulan
Sya’ban tahun kedua Hijriyah, adalah untuk mensucikan orang yang puasa dari
perbuatan dan perkataan kotor dan keji serta untuk memberi makan orang-orang
miskin.
Zakat ini merupakan zakat pribadi,
sedangkan zakat mal merupakan pajak pada harta. Oleh karena itu tidak
disyaratkan pada zakat fitrah apa yang disyaratkan pada zakat mal, seperti
nisab dan syarat-syarat tertentu.
Adapun diwajibkannya zakat fitrah ini
karena tiga hal, yaitu: Islam, terbenam matahari dan akhir bulan Ramadan.
Mengenai hukum melaksanakannya adalah
wajib berdasarkan nas al-Qur’an sebagai berikut:
Ayat ini menurut Ibn Huzaimah,
diturunkan berkenaan dengan zakat fitrah, takbir hari raya dan sembahyang.
Demikianpun menurut Sa’id ibnu Musayyad
dan Umar Ibn Abdul Aziz, bahwa zakat yang dimaksudkan dalam ayat tersebut
adalah zakat fitrah. Adapun nas hadis yang menerangkan tentang zakat fitrah
adalah hadis riwayat muslim dari Ibn Umar. Rasulullah bersabda:
فرض زكاة الفطرمن رمضان على النّاس
صاعامن تمر أوصاعامن شعيرعلى كلّ حر أوعبد ذ كر أو أنثي من المسلمين[63]
Hadis tersebut di atas menunjukkan bahwa zakat fitrah
itu wajib. Adapun yang menjadi perbedaan pendapat ulama adalah mengenai batas
waktu wajib.
Menurut Sauri, Ahmad, Ishak dan
asy-Syafi’ī serta menurut suatu berita dari Malik, waktu wajibnya adalah
ketika terbenam matahari, pada malam lebaran, sebab saat itulah waktu berbuka
puasa Ramadan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Lais, asy-Syafi’i, menurut berita yang lain dari Malik waktu wajibnya adalah tatkala
fajar dari hari lebaran.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa
mengakhirkan zakat fitrah setelah shalat Idul fitri adalah makruh, karena
maksud utama dari zakat fitrah adalah mencukupkan orang-orang fakir dan
peminta-minta dihari itu. Sehingga apabila mengakhirkannya, maka hilanglah
sebagian waktu dari hari itu tanpa terbukti mencukupkannya.
Adapun jenis harta benda yang
dikeluarkan untuk zakat fitrah ialah tanaman seperti: sya’ir, zabīb
dan aqīt. Hal ini sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan Muslim dari
abi Sa’id al-Khudri, sebagai berikut:
كنّا نخرج اذاكان فيهارسول الله ص.م
زكاة الفطرعن كلّ صغيروكبيرحر أومملوك صاعامن طعام أو صاعاأقط أوصاعامن شعير أو
صاعامن تمر أو صاعامن زبيب فلم نزل نخرجه حتّى قدم علينامعاويه بن أبىسفيان
حاجاأومعتمرفكلّم النّاس على المنبرفكان فيما كلّم به النّاس أن قال: انّي أري أن مدين
من سمر الشام تعدل صاعامن تمر فأخذ النّاس بذالك قال:أبوسعيدفأمّاأنافلا أزال
اخرجه كماكنت اخرجه أبداماعشت[64]
Jenis tersebut merupakan awal dari
makanan yang dijadikan zakat fitrah. Kemudian dihubungkan dengan segala rupa,
makanan yang menjadi pengenyang di masing-masing tempat. Seperti beras bagi
kita orang Indonesia .
D. Sasaran dan Hikmah Zakat
1.
Sasaran
zakat
Sasaran zakat
ditujukan kepada delapan golongan atau yang disebut asnaf. Hal ini sebagaimana
diterangkan dalam al-Qur’an, sebagai berikut:
انّماالصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليهاوالمؤلفة قلوبهم وفي الرّقاب
والغارمين وفي سبيل الله وابن السّبيل[65]
Ayat tersebut di atas
menjelaskan tentang sasaran zakat, yakni bahwa zakat ditujukan kepada delapan
golongan. Adapun 8 golongan yang dimaksud adalah fakir, miskin, amil, muallaf,
riqab, garim, sabilillah dan ibn sabil.
a.
Fakir dan
Miskin.
Fakir miskin adalah orang pertama yang
diberi saham zakat oleh Allah. Menurut Sayyid Sabiq, fakir miskin adalah
orang-orang yang ada dalam kebutuhan dan tidak mendapatkan apa yang mereka
perlukan.[66] Sedangkan Imam asy-Syafi’i memberikan pengertian tersendiri
terhadap fakir miskin. Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan tidak
pula mempunyai mata pencaharian. Sedangkan miskin adalah orang yang mempunyai
harta atau mata pencaharian tetapi di bawah kucukupan.[67]
Oleh karena golongan fakir miskin ini
adalah orang-orang pertama yang diberi saham zakat oleh Allah, maka sasaran
utama zakat adalah untuk menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan dalam
masyarakat Islam.
b.
Amil zakat
Yang dimaksud amil zakat adalah
orang-orang yang melaksanakan kegiatan urusan zakat mulai dari para pungumpul
sampai bendahara dan penjaganya juga mulai dari pencatat sampai kepada
penghitung yang mencatat keluar masuknya zakat dan membagi pada mustahiqnya.[68]
c.
Muallaf
Adapun yang dimaksud muallaf
adalah mereka yang diharapkan kecenderungan atau keyakinannya dapat bertambah
terhadap Islam, atau terhalangnya niat jahat mereka atas orang miskin, atau
harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin
dari musuh.[69]
d.
Riqab
Riqab
adalah memerdekakan budak belian, hal ini diambilkan dalam penggalan ayat “وفىالرقاب
“ adapun
penyaluran dana zakat pada golongan riqab masa sekarang dapat
diaplikasikan untuk membebaskan buruh-buruh kasar atau rendahan dari belenggu
majikannya yang mengeksploitasi tenaganya, atau membantu orang-orang yang
tertindak dan terpenjara, karena membela agama dan kebenaran.
Kondisi seperti ini banyak terjadi pada
zaman sekarang, apalagi melihat kondisi perekonomian negara dan masyarakat
semakin sulit diatasi. Dengan demikian pengembangan riqab semakin luas
sesuai dengan perkembangan sosial, politik dan perubahan waktu.
e.
Garimin (orang yang berhutang)
Menurut Imam Malik, asy-Syafi’i< dan Ahmad, bahwa orang mempunyai hutang terbagi dua golongan.
Pertama, orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan dirinya sendiri, dan
kedua adalah orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan masyarakat.[70]
f.
Fi Sabilillāh
Di antara ulama dulu dan sekarang ada
yang meluaskan arti sabilillāh, tidak khusus pada jihad yang berhubungan
dengan Tuhan, tetapi ditafsirkan pada semua hal yang mencakup kemaslahatan taqarub
dan perbuatan baik, sesuai dengan penerapan arti asal kalimat tersebut.[71]
Menurut Zakiyah Darajat, penggunaan
kata sabilillāh mempunyai cakupan yang sangat luas, dan bentuk
praktisnya hanya dapat ditentukkan pada kondisi kebiasaan waktu.[72] Kata tersebut dapat digunakan dalam istilah jalan yang menyampaikan
kepada keridaan Allah baik berupa pengetahuan atau amal perbuatan.[73]
g.
Ibnu
Sabil
Yang dimaksud Ibnu Sabil menurut
ulama ialah qiyasan untuk musafir, yaitu orang yang melintas pada suatu daerah
ke daerah lain untuk melaksanakan suatu hal yang baik, tidak untuk kemaksiatan.
Menurut golongan Syafi’i ada dua macam, yaitu: orang yang akan bepergian dan
yang sedang dalam perjalanan, mereka berhak meminta bagian zakat meskipun ada
yang menghutanginya dengan cukup. Menurut golongan ini ibnu sabil diberi
dana zakat untuk nafkah, perbekalan dan apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan yang mereka inginkan.[74]
Zakiyah Darajat memasukkan dalam golongan ini adalah para penuntut ilmu yang
jauh dari orang tua dan kehabisan bekal dalam rantauannya.[75]
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian
kali ini penulis menggunakan metode wawancara yaitu dengan mewawancari salah
satu muzakki di desa Harjowinangun Barat RT 6 RW 6
yaitu Bapak Rosyidi, beliau menyatakan bahwa pada era modern ini masyarakat
termasuk beliau kesulitan dalam membedakan antara orang yang tidak berhak
menerima zakat dan orang yang memang berhak menerima zakat dan wajib untuk
dizakati.
Banyak pula warga RT 6 Rw 6 yang
mnyalurkan zakat kepada orang yang memiliki hubungan keakraban yang lebih dekat
misalnya lebih mengutamakan saudaranya dan tetangga terdekatnya. Sedangkan jika
kita melihat itu sangat berbeda dengan yang ada dalam al-Qur’an sebagaimana
telah ditetapkan Allah bahwa zakat hanya diberikan kepada delapan golongan.
Adapula yang memberikan zakatnya kepada karyawanya sehingga dalam kasus
ini muzakki merangkap antara THR dan zakatnya, hal
itu juga tidak bisa dibenarkan bahwasanya semua karyawan tersebut memenuhi
syarat sebagai penerima zakat.
Faktor yang
menyebabkan terjadinya hal itu adalah kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap
penget ahuan agama terlebih dalam ranah fiqh, sehingga sering kali masyarakat
lebih mementingkan hubungan kekeluargaan tanpa memperhatikan keadaan dan kodisi
penerima zakat.
Selain itu menurut
bapak Rosyidi rasa tidak enak hati ewuh juga
melatar belakangi para muzakki di RT
6 RW 6 lebih memilih orang orang yang lebih dekat sebagai penerima zakat. Di
daerah tersebut juga tidak ada badan amil zakat sehingga warga cukup kesulitan
dalam penyaluran zakat dan pemerataan zakat.
at-Taubah ayat 60
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَ فِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ )٦٠(
Artinya: Sesungguhnya
zakat-zakat, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengelola-pengelolanya, para mu’allaf, serta untuk para budak, orang-orang yang
berhutang, dan pada sabilillah, dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang telah diwajibkan Allah. Dan Allah
maha mengetahui lagi maha bijaksana. (At-Taubah: 60)
Makna Mufrodat
الفقرآء
: Al-fuqara’ merupakan jamak dari faqir. Kata ini terbentuk dari kata faqura
yang darinya terbentuk pula kata iftaqara yang berarti membutuhkan. Jadi,
al-faqr artinya orang yang membutuhkan. Maka orang yang tidak mempunyai harta
atau orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya disebut dengan faqir
karena dia membutuhkan bantuan orang lain. Quraish Shihab menyebutkan, faqir itu
terbentuk dari kata faqr, yang berarti tulang punggung, faqr adalah orang yang
patah tulang punggungnya dalam arti bahwa beban yang dipikulnya demikian berat
sehingga mematah tulang punggungnya.
المساكين
: Jamak dari al-miskin, yang berasal dari kata sakana artinya hilang
kegiatannya, karena menggantungkan kehidupannya kepada manusia. Miskin yaitu
orang yang memiliki penghasilan tetap, tetapi penghasilannya tidak mencukupi
kebutuhan hidupnya.
سبيل الله
: Jalan atau sarana yang mengantarkan penggunanya menuju ridha Allah dan pahala
dari-Nya dan yang dimaksud dengannya adalah setiap orangyang melakukan
aktivitas (kegiatan) yang masuk ke dalam kategori mentaati Allah.
Asbabun Nuzul
Ayat ini turun ketika orang-orang
munafik yang bodoh itu mencela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang
pembagian zakat , kemudian Allah menjelaskan bahwa Allah-lah yang mengatur
pembagian zakat tersebut dan tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada
selain-Nya, tidak ada campur tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Allah membaginya hanya untuk mereka yang disebutkan dalam ayat tersebut.
( إِنَّمَا
الصَّدَقَات ) maksud dari ayat ini adalah zakat-zakat yang wajib, berbeda
dengan sadaqah mustahabah yang bebas diberikan kepada semua orang tanpa ada
pengkhususan.
Penjelasan Ayat
Ayat ini menjelaskan bahwa ada
delapan bagian orang berhak menerima zakat, yaitu fakir, miskin, ‘amil,
muallaf, budak, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil. Ayat diatas menggambarkan
pula bahwa diantara delapan ashnaf ada
enam ashnaf yang menggunakan lam al-milk (yang menunjukkan kepada kepemilikan)
dan dua lainnya menggunakan fi zarfiyah (menunjukkan
kepada tempat). Lam al-milk (kepemilikan)
digunakan untuk fakir, miskin, ‘amil, muallaf, gharim, dan ibnu sabil. Sedangkan fi zarfiyah digunakan untuk budak dan sabilillah.
Yang dimaksud dengan fakir dalam ayat
diatas adalah orang yang tidak memiliki usaha layak dan harta yang mencukupi
kebutuhanya. Miskin adalah orang yang telah memiliki harta dan usaha yang
patut, tetapi tidak mencukupi kebutuhanya.
Yang dimaksud dengan amil adalah orang yang bekerja mengurus harta
zakat. Pekerjaan amil ini meliputi menerima
harta itu dari muzakki, menuliskan,
mengumpulkan, dan membagikan kepada orang yang berhak menerimanya. Dan muallaf
adalah orang yang sudah masuk islam tetapi islamnya masih lemah maka dia diberi
zakat agar imanya semakin kuat, dengan tujuan melunakkan hatinya agar tetap
dalam islam.
Riqab adalah
budak atau hamba sahaya yang belum merdeka, yaitu budak yang digantungkan
kemerdekaanya oleh majikannya atas sejumlah harta yang harus dia serahkan
kepada majikan tersebut sebagai penebus dirinya. Dalam fiqh disebut budak mukatab dan budak lainya tidak berhak menerima
zakat.
Gharim adalah
orang yang berutang, baik utang pribadi seperti utang keperluan makan, pakaian,
pembangunan rumah, maupun kemslahatan umum dengan atas nama dirinya. Akan
tetapi, utang itu disyaratkan bukan utang maksiat, seperti judi dan khamr.
Sedangkan sabilillah adalah
orang-orang yang berjuang dijalan Allah. Adapun ibnu sabil adalah orang yang
habis perbekalanya dalam perjalanan maka kepadanya diberikan zakat untuk
memenuhi kebutuhan itu.[5]
Analisi
Dalam QS. at-Taubah
ayat 60 menyatakn bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang-orang selain
yang telah disebutkan oleh Allah SWT dan tidak boleh pula mencegah zakat dari
sebagian golongan diantara mereka bilamana golongan tersebut memang ada.
Selanjutnya dibagikan kepada golongan-golongan tersebut secara merata, dengan
mengutamakan individu tertentu dari suatu golongan atas yang lainya.
Seperti yang telah
dijelaskan diatas huruf lam yang
terdapat pada lafaz lilfuqara memberikan
pengertian wajib meratakan pembagian zakat kepada setiap individu-individu yang
berhak. Hanya saja tidak diwajibkan kepada pemilik harta yang dizakati.
Penyaluran zakat
hanya kepada orang-orang yang berhak menerimanya saja dan tidak diberbolehkan
kepada selain delapan golongan tersebut, fenomena yang terjadi di desa Harjowinangun
Barat RT 6 RW 6 merupakan keawaman masyarakat terhadap pengertian ahsnaf dalam pembagian zakat, sehingga hal ini
menimbulkan terjadinya kesalahan dalam penyaluranya.
Meskipun muzakki diperbolehkan untuk mengutamakan
saudaranya dalam penerimaan zakat, namun saudara yang memenuhi kriteria delapan
golonganlah yang wajib dizakati jika saudaranya muzakki termasuk golongan orang yang mampu maka
tidak berhak menerima zakat.
Dan jika dalam suatu
masyarakat yang keadaanya cukup sejahtera sehingga muzakki kesulitan dala penyaluran zakat, maka
disinilah pentingnya ada badan amil zakat dimana BAZ akan membantu dalam
menyalurkan zakat kepada orang orang yang berhak menerima zakat. Terlebih lagi
bisa rata dalam pembagianya.
Menurut penulis
terhadap apa yang terjadi di RT 6 RW 6 tersebut bisa disiasati dengan
melebihkan jumlah harta yang dikeluarkan artinya jika muzakki mengeluarkan harta lima juta rupiah maka
bisa dilebihkan menjadi enam juta rupiah dengan tujuan selisih uang satu juta
tersebut diberikan orang yang tidak termasuk delapan golongan penerima zakat.
Karena pada dasarnya
zakat sangat berbeda dengan shodaqoh karena zakat lebih rinci yaitu harta yang
harus diberikan orang orang yang telah disebutkan dalam firman Allah dan
shodaqoh lebih global serta bisa diberikan kepada siapa saja serta berupa apa
saja.
Di wilayah Bapak
Rosyidi juga perlu adanya penyuluhan atau memberikan penjelasan tentang bab
zakat sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara muzakki dan orang yang tidak berhak menerima
zakat yang mempunyai hubungan yang akrab dengan muzakki sehingga rasa tidak enak hati bisa hilang
dengan pengetahuan tentang siapa saja yang wajib dan berhan dizakati
.
BAB IV
PENUTUP
Delapan golongan yang
wajib dizakati adalah fakir, orang-orang miskin, pengelola-pengelolanya, para
mu’allaf, serta untuk para budak, orang-orang yang berhutang, dan pada
sabilillah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Jika harta
benda diberikan kepada selain delapan golongan tersebut maka tidak bisa disebut
sebagi zakat.
Jika kita melihat
hal yang terjadi di RT 6 RW 6 sangat dibutuhkan partisipasi dari orang yang
menguasai persoalan zakat untuk melakukan penyuluha terhadap warga tentang
zakat. Selain BAZ sangat dibutuhkan sebagi badak penyalur zakat untuk membantu
dalam pembagian zakat dan meminimalisir terjadinya kesalahan dalam pembagian
zakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asmuni, Qawa’id al-Fiqhiyyah,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992
Abi Dawud, Sulaiman bin al-Asy’ari bin Ishak as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, 2 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t
Al-Bukhari, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Ibn Ibrahim bin Mugirah bin
Bardizbah, Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, 1981
Al-Buny, Djamaluddin Ahmad, Problematika Harta dan
Zakat, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983
Al-Hasby, Muhammad Bagir, Fiqih Praktis Menurut
Al-Qur’an, Sunnah dan Pendapat Ulama, Bandung: Mizan, 2002
Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin
Ahmad dan Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Tafsir Jalalain, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Anis, Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasit, 2 Jilid, Mesirt: Dar al-Lisan al-‘Arab, 1972
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang:
PT. Pustaka Rizqi Putra, 1996
Asy-Syaukani, Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad, Nail
al-Autar, 4 Jilid,Libanon: Dar al-Jail, t.t.
Darajat: Zakiyah, Zakat Pembersih Harta dan Jiwa,
Jakarta : Yayasan Pendidikan Islam Ruhama, 1991
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan
Tafsirnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, alih
bahasa Masdar Helmi, Bandung: Gema Risalah Pers, 1997
Malik, Abu Abdillah Malik bin Anas, Al-Muwatta, ttp: tnp, t.t
Muslim, Abu Husain Muslim Ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, 9 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1981
Permono, Sjechul Hadi, Sumber-sumber Penggalian
Zakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992
Soeb, Joesoef, Masalah Zakat dan Sisrem Moneter,
Medan: Rainbow, 1987
Suma, Muhammad Amir,Tafsir Ahkam I, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu,1997
Syahatih, Syauqi Isma’il, Penerapan Zakat Dalam
Dunia Modern, alih bahasa Anshari Umar sitanggal, Jakarta: Pustaka dian
Antar Nusa, 1987
[2] Yūsuf al-Qaradawī, Syari’at Islam Ditantang Zaman, terj. Abu
Zaky (Surabaya: Pustaka Progresif, 1990), hlm.115.
[3] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, cet.
ke-3 (Bandung: Mizan,1994), hlm.188.
[4] Ibnu Rusyid, Bidāyah al-Mujtāhid wa Nihāyah al-Muqtas}id,cet. ke-2 (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950) II: 251
[6]Al-Alamah Ibnu Manzūr, Lisān al-‘Arab,(Beirut : Dār Lisan al-‘Arab, t.t.), II: 36.
[7]At-Taubah (9): 103.
[8]Wahbah az-Zuhailī, Zakat Kajian Berbagai Mazhab,alih bahasa
Agus Effendi dan Burhanuddin Fanany, kata pengantar Jalaluddin Rahmat,
(Bandung: PT.Remaja Rosda karya,1995), hlm. 83.
[9] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dār al-kutub
al-Araby, 1973), I: 276.
[10]Lebih lanjut al-Jazāirī memberikan keterangan pengertian tersebut di
atas bahwa seseorang yang telah memiliki harta yang mencapai nisab zakat. Maka
ia wajib memberikan harta zakatnya kepada yang berhak dengan cara menjadikan
milik. Abdurrahman al-Jazāirī, Al-Fiqh ‘alā al-Mazāhib al-‘Arba’ah, (Beirut:
Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), I:536.
[11]Muhammad asy-Syaukani, Nail al-Autār,(Libanon: Dār al-Jail,
t.t.), IV:169.
[12]Hasbi ash Shiddieqy, Zakat Sebagai Salah Satu Unsur Pembinaan
Masyarakat Sejahtera, (Purwokerto: Matahari masa, 1969), hlm.11.
[13]Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, zakat Dan Wakaf,
cet. ke-1 (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 39.
[15] Al-Muzzammil (73): 20.
[16] At-Taubah (9): 34 .
[17] Al-Baqarah (2): 43.
[18] Al-An’am (6): 141.
[19] Al-Baqarah (2): 277.
[20] Imām al- Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī, Kitab al-Imān,
(Beirut: Dār al-Fikr,1991), I:10. Hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Umar.
[21] Idem, bab wujub az-Zakāh, II: 124. Hadis sahih dari Abu
Sufyan dari Ibnu Abbas.
[22] Wahbah al-Zuhailī, Zakat Kajian….., hlm. 90.
[23] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, penerj. Iskandar
al-Barsany, cet. Ke-3, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 185.
[25] Ali Yafie, Makalah Seminar Pengembangan Manajemen Zakat tgl.
31Januari-1 Februari 1990 di IAIN Raden Intan Lampung, terkumpul dalam buku Pengembangan
Manajemen Zakat, (Lampung, Proyek Pengembangan IAIN Raden Intan Lampung:
1990), hlm. 18.
[26] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi…hlm. 41.
[27]Imām Muslim, Sahīh Muslim,Kitab az-Zakāh,(Beirut : Dār al-Fikr t.t)
hlm. 390.
[28]Syauqi Isma’il Syahatin, Penerapan Zakat di Dunia Modern (Jakarta:
Pustaka Dian Antar Kota, 1986), hlm. 128.
[29] Malik bin Anas, Al-Muwaţţa, Kitab az-Zakah
bab az-Zakah fi al-‘ِِAini min az-zahab wa al-waraqi, (ttp: tnp, t.t.) Hadis
no. 6 I:168.
[31] Wahbah az-Zuhailī, Zakat Kajian…, hlm. 89.
[32] Muhammad Daud Ali, Sistem…, hlm. 42.
[33] An-Nahl (16): 44.
[34] Hasbi ash Siddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang: PT. Pustaka
Rizqi Putra, 1996), hlm.32.
[35] Syauqi Isma’il, Penerapan Zakat…, hlm. 176.
[36] At-Taubah (10): 34.
[38] Imām Abī Dawūd, Sunān Abī Dawūd,Kitab Az-Zakāh,
(Beirut: Dar al-Fikr,1987), II:100, Hadis no. 1573, Hadis sahih dari Ali ra.
[40]Terdapat perbedaan pendapat mengenai ukuran emas 20 dinar dijadikan
gram untuk ukuran Indonesia, ada yang berpendapat 85 gram, 94 gram dan 96 gram.
Hal ini disebabkan ketidaksamaan dalam mengkonversi alat ukur yang akan
digunakan masa dulu dan sekarang. Adapun 94 gram adalah kadar zakat yang
berlaku di Indonesia
berdasarkan instruksi mentri agama no. 5 th. 1991. Lihat Proyek Peningkatan
Sarana Keagamaan Islam Zakat dan Wakaf, Pedomam zakat , cet. 16 (Jakarta:
Dep.Ag., 1997), hlm. 135.
[41]Imām al- Bukhārī,Sahīh al-Bukhārī, Bab az-Zakat al-Baqar (Beirut: Dār al-Fikr,1981),
II: 141Hadis dari Abī Zār.
[42] Muhammad Bagir al Hasby, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an, Sunnah
dan Pendapat Ulama, (Bandung :
Mizan, 2002), I: 294.
[43]Imām al-Bukhārī, Sahih al-Bukhārī, Bab Zakat
al-Waraq,II: 137.
[44]Imam at-Turmużi, Sunan at-Turmużi,ِِ Abwab az-Zakah.Bab Ma
ja’a fi Zakah al-Bakhari, (ttp:
Dār
al-Fikr, 1978), II: 68, Hadis sahih dari Mahmud bin
Gailan Abdul Razaq.
[45]Termasuk dalam nisab tersebut adalah domba dan biri-biri, Karena
keduanya adalah satu jenis. Lihat as-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,alih
bahasa Muhyiddin Syaf, (Bandung :
PT Al-Ma’arif, t.t.), hlm. 78.
[48] Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyyah. (Jakarta: Masagung, 1993),
hlm. 210-211.
[49] Al-An’am (6): 141.
[50] Al-Baqarah (2): 267.
[51] Mahmud Syaltout, Al-Fatāwā, (ttp: Dār al-Qalam,
t.t.), hlm. 122-123.
[52] Imām Muslim, Sahīh Muslim, Kitab az-Zakāh, I: 390,
Hadis dari Ishak bin Mansur.
[53] Imām al-Bukhari,Sahīh al-Bukhārī,Bab
al-Usyr lima
yusqa min mā’i samā’i wa bil mā’i jarī, II: 148, Hadis riwayat Bukhari dari
Salim bin Abdullah.
[54] Proyek Peningkatan Sarana
Keagaman Zakat dan Wakaf (Jakarta :
Pedoman Zakat, t.t.), hlm. 197.
[55] Djamaluddin Ahmad al-Buny, Problematika Harta dan Zakat,
cet. Ke-2, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), hlm. 115.
[56] Al-Baqarah (2): 167.
[57] Yūsuf al- Qaradawī, Fiqh
az-Zakāh, I: 315 .
[58] Imām Abī Dawūd, Sunān Abī Dawūd, Kitab
az-Zakāh, Bab al-‘urud Iża kāna li at-tijārah, II: 95,
Hadis no. 1562 Hadis dari samurah bin jundab ra.
[59] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, I: 346.
[60] Syechul Hadi Purmono, Sumber-sumber Penggalian Zakat,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), hlm. 133.
[62] Al-‘Ala
(81): 14-15.
[63] Imām Muslim, Sahīh Muslim, Bab Zakat al-Fitri ‘alā
al-Muslim min at-Tamri wa Syair, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi,t.t), hlm.
392.
[64] Imām Muslim, Sahīh Muslim, Bab Zakah al-Fitr, ‘alā muslimīn,
I: 392.
[65] At-Taubah (9): 60.
[66] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, terj., hlm. 104.
[68]Yūsuf al-Qaradawi, Fiqh az-Zakāh, hlm. 546.
[72] Zakiyah Darajat, Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, (Jakarta: Yayasan
Pendidikan Islam Ruhama, 1991), hlm. 82.
[73] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, terj. hlm. 172.
[75]Zakiyah Darajat, Zakat…, hlm. 82.
No comments:
Post a Comment