Friday, January 20, 2017

FASAKH DALAM ISLAM (KAJIAN FIQIH MUNAKAHAT)

FASAKH DALAM FIQIH MUNAKAHAT
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Ahir-ahir ini sering terlihat, seorang isteri mengajukan gugat cerai terhadapsuaminya. berita tersebut semakin hangat, karena si penggugat yang sering diekspos di mediatelevisi adalah figure atau artis-artis terkenal. gugat cerai tersebut ada yang berhasil, yaitu jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai urung dilanjutkan,sehingga rumah tangga mereka terselamatkan.padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT.
Sebagaimana banyak dikutip dalam setiap undangan walimahan (resepsi pernikahan), yaitu termaktub dalam surat ar-rum ayat 21 yang berbunyi:“dan di antara tanda-tandanya bahwa dia menciptakan jodoh untuknya dari dirimu (bangsamu) supaya kamu bersenang-senang kepadanya, dan dia mengadakan sesama kamu kasih saying dan rahmat. sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir”.
Berdasarkan ayat ini pula, maka tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa-rahmah.bisa jadi, karena mereka sudah tidak dapat mempertahankan keluarga yang sakinah, mawaddahwa-rahmah, tapi jika hal tersebut tidak terlaksana maka salah satu pihak dapat menggunakan haknya, baik suami atau isteri untuk mengajukan gugatan cerai, padahal dalam islam, cerai memang dihalalkan allah, namun sangat dibenci olehnya (“sesungguhnya perbuatan yang boleh, tetapi sangat dibenci allah adalah talak”, hadits riwayat Abu Daud dan Ibn Majah). Gugatan dari suami disebut dengan talaq sementara gugatan dari isteri disebut fasakh.
Alasan-alasan tersebut diatas yang mendasari kami membuat makalah ini yang  membahas tentang “Gugatan isteri (Fasakh)”.





B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami buat dalam makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.      Apa pengertian dari Fasakh?
2.      Apa dasar hukum dari Fasakh?
3.      Bagaimana Konsekuensi Hukum Fasakh?
4.      Bagaimana perbedaan Fasakh dengan Talaq?

C.    Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis dengan tujuan :
1.      Untuk mendeskripsikan pengertian fasakh.
2.      Untuk mendeskripsikan dasar hukum fasakh.
3.      Untuk mendeskripsikan tentang konsekuensi hukum fasakh.
4.      Untuk mendeskripsikan perbedaan Fasakh dengan Talaq




BAB II
PEMBAHASAN


A.     Definisi Fasakh
Fasakh disebut juga dengan batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan. Yang dimaksud dengan menfasakh nikah adalah membatalkan atau memutuskan ikatan hubungan antara suami dan istri.[1]
Menurut Amin Syarifuddin, fasakh berarti putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada isteri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan.[2]
Hikmah boleh dilakukannya fasakh itu adalah memberikan kemaslahatan kepada umat manusia yang sedang dan telah menempuh hidup berumah tangga. Dalam masa perkawinan itu mungkin ditemukan hal-hal yang tidak memungkinkan keduanya mencapai tujuan perkawinan, yaitu kehidupan mawaddah, warahmah, dan sakinah, atau perkawinan ituakan merusak hubungan antara keduanya. Atau dalam masa perkawinannya itu ternyata bahwa keduanya mestinya tidak mungkin melakukan perkawinan, namun kenyataannya telah terjadi. Hal-hal yang memungkinkan mereka keluar dari kemelut itu adalah perceraian.[3]
Salah satu bentuk terjadinya fasakh adalah adanya pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan. Bentuk ini disebut dengan syiqaq. Ketentuan tentang syiqaq dapat ditemukan dalam firman Allah pada surat An-Nisa’ ayat 35:
 ÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz  
Artinya: “Jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[4]

B.     Syarat-Syarat Fasakh
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau kerena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan. Berikut adalah penjabarannya:[5]
1.      Fasakh (batalnya perkawinan), karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a.   Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami,
b.  Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa, ia berhak memutuskan untuk meneruskan atau mengakhiri perkawinannya.
2.      Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.
a.   Bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari agama islam dan tidak mau kembali sama sekali ke agama Islam,
b.   jika suami yang tadinya kafir masuk islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (Fasakh).
Ø  Sebab-sebab terjadinya Fasakh (batalnya perkawinan):
1.      Karena ada balak (penyakit belang kulit)
2.      Karena gila
3.      Karena Kusta
4.      Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, dan lain sebagainya.
5.      Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan( bersetubuh).
6.      Karena ‘Anah (zakar laki-laki impoten, tidak hidup untuk jima’) sehingga tidak dapat mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah.
Disamping itu, fasakh bisa terjadi oleh sebab-sebab berikut:[6]
1.     Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya, umpamanya : Budak dengan merdeka, orang pezina dengan orang terpelihara dan sebagainya.
2.      Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberi belanja sedangkan istrinya tidak rela.
3.      Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat ataupun maskawinnya belum dibayarkannya sebelum campur.

C.     Dasar Hukum Fasakh
Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan tidak pula dilarang; namun bila melihat kepada keadaan dan bentuk tertentu hukumnya sesuai dengan keadaan dan bentuk tertentu.[7]
Yang dimaksud keadaan tertentu di atas adalah terdapatnya beberapa factor yang membolehkan untuk melakukan fasakh, diantaranya: syiqaq (pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan), fasakh karena cacat, fasakh karena ketidakmampuan suami memberi nafkah, fasakh karena suami meninggalkan tempat tetapnya dan pergi entah kemanadalam jangka waktu yang sudah lama, dan fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan.
Terdapat beberapa hadits yang dijadikan tempat berpijaknya dasar hukum fasakh dalam perkawinan,namun pada makalah ini, penulis hanya mengutip satu hadits yang diriwayat oleh H.R Ahmad, yaitu:
عن جميل بن زيد بن كعب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوج إمرأة من بني غفار فلما دخل عليها فوضع ثوبه وقعد على الفراش أبصر بكشجها بياضا فنحاز عن الفراش ثم قال خذى عليك ثيابك ولم يأخذ مما أتاها شيئا. {رواه أحمد}

Dari jamil bin Zaid bin Ka’ab r.a bahwasannya Rosulullah SAW pernah menikahi seorang perempuan bani gafar, maka tatkala ia akan bersetubuh dan perempuan itu telah yang meletakkan kainnya, dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatannya putih (balak) dilambungnya lalu ia berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya berkata, “ambillah kain engkau, tutupilah badan engkau, dan beliau telah mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR. Ahmad).[8]


D.     Konsekwensi Hukum Fasakh
Akibat hukum yang ditimbulkan akibat putusnya perkawinan secara fasakh adalah suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya selama istrinya masih menjalani masa iddah, hal ini disebabkan karena perceraian yang terjadi secara fasakh ini berstatus ba’in sughra. Apabila mantan suami dan mantan istri berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya kembali, mereka harus melakukan akad nikah yang baru, baik dalam waktu mantan istri sedang dalam masa iddah maupun setelahnya.
Akibat yang lain dari fasakh itu adalah tidak mengurangi bilangan thalaq. Hal ini menunjukkan bahwa hak si suami untuk men-thalaq istrinya maksimal adalah tiga kali, maka tidaklah berkurang dengan adanya fasakh. Dalam bahasa sederhana, fasakh boleh terjadi bekali-kali tanpa batas.[9]
Pada dasarnya fasakh itu dilakukan oleh hakim atas permintaan dari suami atau dari istri. Namun adakalanya fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa memerlukan hakim, seperti suami istri ketahuan senasab atau sepersusuan.[10]

E.     Konsekwensi Hukum Setelah Terjadi Fasakh
Akibat hukum yang ditimbulkan setelah terjadi fasakh adalah hukum thalaq ba’in sughra, dimana si suami boleh melanjutkan perkawinannya kembali dengan mantan istrinya dengan akad nikah yang baru tanpa memerulukan muhallil, baik dalam masa iddah si istri maupun tidak.
Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah terjadinya pemutusan perkawinan secara fasakh, maka tidak dikenai hukum thalaq raj’i dan tidak pula dikenai thalaq bid’iy. hal ini disebabkan karena apabila thalaq raj’i, si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melakukan nikah yang baru, sedangkan pada fasakh, si suami boleh kembali dengan mantan istrinya harus dengan akad yang baru.
Begitu pula halnya dengan thalaq bid’iy, yaituthalaq yang dijatuhkan ketika istri dalam keadaan berhadats, hal ini sebenarnya adalah hal yang dilarang dalam agama Islam, sehingga apabila hal ini terjadi maka wajib hukumnya bagi suami untuk ruju’ kembali dengan istrinya. Sedangkan pada fasakh, tidak adanya ketentuan yang demikian, karena fasakh memerlukan akad baru dalam hal melanjutkan ikatan perkawinan antara suami dan mantan istrinya.

F.      Perbedaan Talak dan Fasakh

No.
TALAK
FASAKH
1.
Talak ialah pembubaran ikatan perkawinan dengan lafal talak .
Fasakh bererti memutuskan pernikahan tanpa menjatuhkan talak,
2.
Perceraian boleh dilakukan dengan lafal sharih (jelas) dan lafaz kinayah (sindiran), begitu juga perceraian boleh dilakukan dengan talak raj’i atau talak ba’in.
Sedangkan pembubaran perkawinan secara fasakh hanya boleh diputuskan oleh hakim di mahkamah.

3.
Berpisahnya suami istri akibat
talak tidak mengakhiri ikatan suami istri secara seketika. Karena dalam talak ada talak ba’in dan talak raj’i , talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika. Sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.

4.
Pisahnya suami isrtri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak isterinya dengan talak raj’i kemudian kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatan terhitung satu talak, yang berarti ia masih ada kesempatan dua kali talak lagi.
Sedangkan pisah suami istrri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.


PERBEDAAN DARI SEGI HAKIKAT

Talak (kecuali talak ba’in kubra) adalah pengakhiran akad tanpa kesan menghilangkan kebolehan (hak) untuk melakukan hubungan (kembali).
Fasakh adalah pembatalan akad dari segi asasnya, dan berkaitan bagi menghilangkan hukum yang timbul karenanya.

PERBEDAAN KARENA PENGARUHNYA.

Penjatuhan talak akan mengurangi jumlah bilangan yang ada pada suami.
Peristiwa fasakh tidak mengurangi bilangan-bilangan talak yang dimiliki suami;




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.     Fasakh disebut juga dengan batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan. Yang dimaksud dengan menfasakh nikah adalah membatalkan atau memutuskan ikatan hubungan antara suami dan istri.
2.     Hikmah boleh dilakukannya fasakh itu adalah memberikan kemaslahatan kepada umat manusia yang sedang dan telah menempuh hidup berumah tangga.
3.     Sebab-sebab terjadinya Fasakh (batalnya perkawinan):
a.     Karena ada balak (penyakit belang kulit).
b.    Karena gila.
c.     Karena Kusta.
d.    Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, dan lain sebagainya.
e.     Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan( bersetubuh).
f.     Karena ‘Anah (zakar laki-laki impoten, tidak hidup untuk jima’) sehingga tidak dapat mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah.
4.      Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan tidak pula dilarang; namun bila melihat kepada keadaan dan bentuk tertentu hukumnya sesuai dengan keadaan dan bentuk tertentu.
5.     Akibat hukum yang ditimbulkan akibat putusnya perkawinan secara fasakh adalah suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya selama istrinya masih menjalani masa iddah, hal ini disebabkan karena perceraian yang terjadi secara fasakh ini berstatus ba’in sughra.
6.      Akibat hukum yang ditimbulkan setelah terjadi fasakh adalah hukum thalaq ba’in sughra, dimana si suami boleh melanjutkan perkawinannya kembali dengan mantan istrinya dengan akad nikah yang baru tanpa memerulukan muhallil, baik dalam masa iddah si istri maupun tidak.
7.      Setelah terjadinya pemutusan perkawinan secara fasakh, maka tidak dikenai hukum thalaq raj’i dan tidak pula dikenai thalaq bid’iy.
8.      Perbedaan talak dan fasakh:
a.       Talak ialah pembubaran ikatan perkawinan dengan lafal talak. Sedangkan fasakh memutuskan pernikahan tanpa menjatuhkan talak.
b.      Perceraian boleh dilakukan dengan lafal sharih (jelas) dan lafaz kinayah (sindiran), begitu juga perceraian boleh dilakukan dengan talak raj’i atau talak ba’in. Sedangkan pembubaran perkawinan secara fasakh hanya boleh diputuskan oleh hakim di mahkamah.
c.       Berpisahnya suami istri akibat talak tidak mengakhiri ikatan suami istri secara seketika, karena ada masa iddah, kecuali pada thalaq ba’in. Sedangkan fasakh baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.

B.     Kritik dan Saran
Didalam kehidupan, tentu kita sering kita mendengar kata talak dan fasakh serta yang berkaitan tentang itu, tetapi kebanyakan kita tidak mengetahui secara benar apa yang dimaksud dengan talak, dan fasakh tersebut. Untuk itu, maka kami menyusun makalah ini agar dapat memberikan pemahaman tentang fasakh serta menambah wawasan tentangnya.
Demikianlah makalah yang kami susun dengan judul “Fasakh dalam Fiqih Munakahat”. Dalam Penyusunan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penyusunan,  maupun pada materi. Mengingat akan kemampuan yang kami miliki, untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan penyusunan makalah yang akan datang.
Semoga Makalah ini memberikan manfaat dan faedah untuk dunia ilmu dan pengembangannya. Terutama bagi penyusun dan semua pihak yang membacanya, baik dalam lingkup lembaga pendidikan maupun selainnya.




DAFTAR PUSTAKA




Ghozali, Abdul Rahman , Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2010.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011.




[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 142.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 197.
[3] Ibid., hal. 244
[4] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 133-134.
[5] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hal142-143.
[6] Ibid., hal. 148.
[7] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 244.
[9] Op Cit., hal. 253.
[10] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 135

No comments:

Post a Comment