Friday, January 20, 2017

PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM ISLAM

PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM ISLAM


I.          Pendahuluan
Pernikahan itu merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diridloi oleh Allah SWT. Dari pengertian itu dapat kta ketahui bawasanya untuk menciptakan kehidupan keluarga yang yang bahagia , kemudian menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan, membangun rumah tangga yang tentram atas dasar cinta dan kasih saying, sebagaimana yang dianjurkan Allah SWT dalam surat Ar-Rum, 21
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Didalam agama islam itu sudah jelas, mana saja pernikahan yang dilarang islam dan mana saja yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud dari pernikahan yang dilarang yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti kawin mut'ah kawin hanya untuk bersenang-senang, kawin syhighor, kawin muhallil dan lain-lain, bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang berasal dari zaman jahiliyyah yang mana pada zaman itu orang-orang bagaikan binatang yang memiliki prinsip bahwa siapa kuat dialah yang berkuasa.
Adapun pernikahan yang diperbolehkan atau dihalalkan yaitu pernikahan yang sesuai dengan ketentuan syariat seperti ada kedua mempelai, saksi dan wali serta mahar dan apabila salah satu diantara syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka pernikahannya tidaklah syah dan batal.



III.       Pembahasan
Ada beberapa  bentuk pernikahan yang dilarang oleh Islam yakni:
1.     Nikah Mut'ah
Yaitu suatu pernikahan yang dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu, jika waktu yang ditentukan sudah habis maka siwanita atau istri dinyatakan terlepas dari ikatan pernikahannya dan dia berhak  menerima mut'ah dari suaminya.
a.      Hadits tentang Nikah Mut’ah
وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رضي الله عنه قَالَ : رَخَّصَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطَاسٍ فِي اَلْمُتْعَةِ , ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ , ثُمَّ نَهَى عَنْهَا  (متفق عليه)
Salamah Ibnu Al-Akwa' berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberi kelonggaran untuk nikah mut'ah selama tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekkah), kemudian bleiau melarangnya.

وَعَنْ عَلَيٍّ رضي الله عنه قَالَ : نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ اَلْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ )مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ(
Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang nikah mut'ah pada waktu perang khaibar

وَعَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  نَهى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَعَنْ أَكْلِ الْحُمُرِ اْلأَهْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ ) اخرجه السبعة إلا أبا داود(
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menikahi perempuan dengan mut'ah dan memakan keledai negeri pada waktu perang khaibar. Riwayat Imam Tujuh kecuali Abu Dawud

وَعَنْ رَبِيْعِ ابْنِ سَبُرَةَ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( إِنِّى كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى اْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَالِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُحَلِّ سَبِيْلَهَا وَلاَ تَأْخُذُوْا مِمَّا أتَيْتُمُوْاهُنَّ شَيْئًا) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَأَبُوْا دَاوُدَ وَالنَّسَائِىُّ وَابْنُ مَاجَهُ وَأَحْمَدُ وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Rabi' Ibnu Saburah, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan mut'ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan cara itu hingga hari kiamat. maka barangsiapa yang masih mempunyai istri dari hasil nikah mut'ah, hendaknya ia membebaskannya dan jangan mengambil apapun yang telah kamu berikan padanya." Riwayat Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.


Ghorib Hadits tentang Nikah Mut’ah
-          رَخَّصَ, dibolehkan setelah sebelumnya pernah dilarang. Biasanya, rukhsah (keringan) diberikan dengan ketentuan syarat tertentu.
-          عَامَ أَوْطَاسٍ  pada tahun kemenangan.
-          اَلْمُتْعَةِ, nikah mut’ah.
-          عَنْهَا, yakni nikah mut’ah.
-          مِنْهُنَّ, para wanita yang dinikahi dengan cara nikah mut’ah.
-          فَلْيُحَلِ, hendaklah meninggalkannya.
-          سَبِيْلَهَا, biarkanlah untuk memutuskan nikah mut’ah.
-          أتَيْتُمُوْاهُنَّ, apa-apa yang telah kamu berikan, baik berupa harta mahupun yang selainnya sebagai upahnya.

b.      Penjelasan
Maksud Hadits
Para  ulama tidak mengemukakan satu takrif yang jelas terhadap amalan pernikahan ini selain sekadar menjelaskan yang intinya adalah seorang lelaki yang memakai wanita untuk disetubuhi dalam waktu yang telah ditentukan dengan bayaran sesuai dengan kesepakatan bersama antara mereka, sementara wanita itu tidak berhak mendapatkan nafkah, malah dia juga tidak wajib beriddah kecuali sampai dia suci. Mazhab Imamiyah memberikan masa iddahnya hingga sampai dua kali suci.
Oleh kerana mut’ah merupakan pelecehan terhadap kaum wanita kerana mereka dianggap barang dagangan yang boleh diperjualbelikan, maka Islam mengharamkannya, meskipun sewaktu diharamkan itu masih berwujud keringanan yang membolehkannya karena ada alasan-alasan yang jelas.
Al-Nawawi berkata: “Pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah terjadi sebanyak dua kali. Pertama, nikah ini dibolehkan sebelum Perang Khaibar, kemudian diharamkan pada waktu Perang Khaibar. Kedua, dibolehkan pada tahun penaklukkan kota Makkah, kemudian diharamkan untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.”
Aspek hukum dari Hadits
Nikah mut’ah adalah haram, dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama tentang keharaman nikah mut`ah,antara lain: 
1)      Firman Allah SWT : "Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela" (QS. Al-mukminun:5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut`ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia bukan jariah,karena akad mut`ah bukan akad nikah, dengan alasan sebagai berikut :
-          Tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan.
-          Iddah Mut`ah tidak seperti iddah nikah biasa. 
-          Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristeri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut`ah. 
-          Dengan melakukan mut`ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut`ah itu tidak menjadikan wanita berstatus sebagai isteri dan tidak pula berstatus jariah. Oleh karena itu, orang yang melakukan mut`ah termasuk didalam firman Allah:
"Barang siapa mencari selain dari pada itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas"(QS. al-Mukminin :7)
2)      Sebagaimana juga rasulullah, yang diketahui dari perkataan "Tsumma Nuhii `anhaa" dalam hadist menyebutkan bahwa nikah mut`ah bertentangan dengan tujuan persyari`atan akad nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan 
3)      Nikah mut`ah bertentangan juga dengan peraturan perundang-undangan pemerintah/negara Republik Indonesia tentang perkawinan Islam di Indonesia dan tidak sah untuk dilakukan, karena dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan mut’ah, yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.


2.   Nikah Syighor
Yaitu suatu pernikahan yang dilakukan dengan cara tukar menukar anak perempuannya untuk dijadikan istrinya masing-masing tanpa mas kawin, seperti seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain : "Nikahkanlah aku dengan anakmu dan nanti aku nikahkan kamu dengan anakku"
a.       Hadits tentang Nikah Syighor
وَعَنْ نَافِعٍ , عَنْ اِبْنِ عُمَرَ قَالَ : ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الشِّغَارِ ; وَالشِّغَارُ: أَنْ يُزَوِّجَ اَلرَّجُلُ اِبْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ اَلْآخَرُ اِبْنَتَهُ , وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاتَّفَقَا مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَلَى أَنَّ تَفْسِيرَ اَلشِّغَارِ مِنْ كَلَامِ نَافِعٍ
Nafi' dari Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang perkawinan syighar. Syighar ialah seseorang menikahkan puterinya kepada orang lain dengan syarat orang itu menikahkan puterinya kepadanya, dan keduanya tidak menggunakan maskawin. Muttafaq Alaihi. Bukhari-Muslim dari jalan lain bersepakat bahwa penafsiran "Syighar" di atas adalah dari ucapan Nafi'.

Ghorib Hadits tentang Nikah Sighar
-          الشِّغَارِ, telah ditafsirkakn dalam hadits iaitu seorang lelaki menikahkan anak perempuannya dengan syarat orang lain itu juga harus menikahkan anak orang itu untuk dirinya dan tidak ada mahar kepada kedua-dua gadis itu. Takrif ini sesuai dengan pendapat pakar bahasa, kerana asal makna syighar adalah mengangkat.
-          مِنْ كَلَامِ نَافِعٍ, pendapat ini dinilai kuat oleh al-Bukhari. Al-Khathib berkata: “Inilah adalah perkataan Imam Malik.”Imam al-Syafi’i berkata: “Saya tidak dapat mengenal pasti sama ada tafiran ini datang daripada Rasulullah (s.a.w), Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar, Nafi’ataupun Malik.”Perkataan diceritakan al-Baihaqi dalam kitab al-Ma’rifah.

b.       Penjelasan
Maksud Hadits
Islam telah menetapkan hukum-hakam yang salah satu daripadanya adalah syarat perkahwinan adalah adanya ijab setelah adanya permohonan, disamping kewujudan wali, saksi dan menyebut mahar. Jika ada syarat selain itu, maka syarat itu dianggap batal. Dalam kaitan, Rasulullah (s.a.w) bersabda:
مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللهِ مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ شَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ شَرْطُ اللهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ
Tiada gunanya orang mempersyaratkan syarat-syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Siapa saja yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada dalam Kitabullah maka tidak ada hak baginya (atas syarat itu) meskipun ia mensyaratkannya seratus kali.  Syarat Allah lebih layak (diikuti) dan lebih kuat (untuk dipegangi) (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Demikian pula dengan nikah syighar yang di dalamnya memuatkan syarat batil, kerana menyimpang dari ajaran Allah. Selain itu, nikah syighar ini pada hakikathnya adalah menyia-nyiakan hak wanita yaitu mahar.
Aspek hukum dari Hadits
Meskipun ulama bersepakat mengenai larangan terhadap nikah syighar, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai pernikahan itu sendiri, apakah batal atau tidak.
Menurut Imam al-Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad, pernikahan itu batal. Menurut mazhab Hanafi dan selain mereka, pernikahan itu sah dan masing-masing perempuan wajib diberi mahar mitsil.
Menurut Imam al-Syafi’i, jika mahar perkahwinan itu disebutkan sewaktu akad dilangsungkan, maka pernikahan itu tidak termasuk syighar yang dilarang dalam agama, kerana nikah syighar adalah nikah yang  dilakukan tanpa mahar. Oleh itu, nikah seperti ini dianggap sah, sementara maharnya tidak ada dan wajib digantikan dengan memberikan mahar mitsil

3.   Nikah Tahlil
Yaitu suatu perkawinan antara laki-laki dan wanita yang telah dithalak tiga oleh suaminya dengan tujuan untuk menghalalkan kembali pernikahan antara wanita dengan bekas suaminya setelah dia dithalak oleh suaminya yang kedua.
a.      Hadits tentang nikah Tahlil
وَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ : ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالنَّسَائِيُّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ وَفِي اَلْبَابِ : عَنْ عَلِيٍّ أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ
Ibnu Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya) dan muhallal lah (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas istrinya agar istri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi)." Riwayat Ahmad, Nasa'i, Dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi
Ghorib Hadits tentang Nikah Tahlil
-          لَعَنَ, didoakan agar dijauhkan daripada rahmat Allah.
-          اَلْمُحَلِّلَ, dinamakan demikian, kerana dia menikahi perempuan yang ditalak tiga, kemudian dia menceraikannya agar boleh dikahwini semula oleh suami pertama yang menceraikannya.
-          الْمُحَلَّلَ لَهُ, suami yang menjatuhkan talak tiga kepada isterinya
-          وَفِي اَلْبَابِ  عَنْ عَلِيٍّ, sanadnya daif, kerana ada Mujalid, kerana dia seorang yang dipertentangkan dalam meriwayatkan hadits. Demikian pula hadits Jabir, hadits Abu Hurairah, ‘Uqbah bin ‘Amir dan Ibn ‘Abbas.

b.      Penjelasan
Maksud Hadits
Firman Allah :
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 Ÿwur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$sƒs žwr& $yJŠÉ)ムyŠrßãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uKÉ)ムyŠrßãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydrßtG÷ès? 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËËÒÈ  
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.

Hadits ini menjelaskan jika talak tiga telah dijatuhkan, maka wanita itu tidak halal lagi bagi suaminya sampai wanita tersebut menikah dengan lelaki lain. Dalam kaitan ini, Allah (s.w.t) berfirman:
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù yy$uZã_ !$yJÍköŽn=tæ br& !$yèy_#uŽtItƒ bÎ) !$¨Zsß br& $yJŠÉ)ムyŠrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# $pkß]ÍhŠu;ム5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇËÌÉÈ  
kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Surah al-Baqarah: 230)
Suami kedua mestilah benar-benar ingin menikahi perempuan itu tanpa ada unsur paksaan dari suami pertama. Jika mereka bercerai lagi, maka suami pertama boleh menikah dengan mantan isterinya yang pernah ditalak tiga itu.
Namun ada sebagian pihak yang melakukan tahlill (cinta buta), di mana seorang suami menyuruh orang lain untuk menikahi isteri yang telah diceraikannya supaya halal baginya untuk dinikahi lagi, kemudian Rasulullah (s.a.w) melaknat muhallil dan muhallal lahu. Dalam riwayat lain disebutkan bahawa muhallil dianggap sebagai pelacur sewaan. Hadits ini merupakan dalil yang mengharamkan Tahlill.

Aspek hukum dari Hadits
Haram melakukan Tahlill. Haram menghalalkan isteri yang telah ditalak tiga oleh suaminya dengan melakukan Tahalill, kecuali jika dia menikahinya tanpa niat untuk menghalalkannaya. Jumhur ulama berpendapat bahawa nikah seperti ini batil, sementara wanita tersebut tetap tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama. Menurut mazhab Hanafi, nikah dianggap sah namun syaratnya dianggap batal dan wanita tersebut berhak mendapatkan mahar mitsil. Jika suami kedua menyetubuhinya, kemudian menceraikannya, maka suami pertama boleh menikahinya setelah masa iddahnya berakhir. Dalil mazhab Hanafi adalah perkataan al-muhallil yang membawa maksud pernikahannya itu
adalah sah. Namun jumhur ulama menyanggah pendapat ini dengan mengatakan bahawa istilah al-muhallil tidak dapat difahami mengikut makna yang sebenarnya, kerana Rasulullah (s.a.w) melaknat perbuatan mereka dan laknat tidak ditujukan kecuali ke atas perbuatan yang diharamkan. Sementara perbuatan haram dilarang dan perbuatan yang dilarang akan menyebabkan fasid. Al-Tirmidhi menukil perkataan Waki yang mengatakan sepatutnya perbahasan dalam masalah ini dinisbahkan kepada ashhabur ra’yi.

4.  Nikah dalam keadaan Ihram
وَعَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَنْكِحُ اَلْمُحْرِمُ, وَلَا يُنْكِحُ, وَلَا يَخْطُبُ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Utsman Ibnu Affan Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan menikah, menikahkan, dan melamar." Riwayat Muslim.
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( تَزَوَّجَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَلِمُسْلِمٍ : عَنْ مَيْمُونَةَ نَفْسِهَا ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ )
Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram. Muttafaq Alaihi.
Menurut riwayat Muslim dari Maimunah sendiri: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahinya ketika beliau telah lepas dari ihram.

Penjelasan Hadits
Hadits pertama dan kedua tidaklah bertentangan antara satu sama lain setelah menegaskan bahawa hadits pertama tidak membolehkan seorang yang sedang berihram menikah dan dinikahkan. Namun Ibn ‘Abbas tidak sependapat dengan kaedah ini. Apapun, menerima hadits ini lebih diutamakan kerana periwayatnya lebih mengetahui dengan permasalahan ini.
Ibn ‘Abbas berpendapat mengenai firman Allah: “dan engku halal terhadap negeri ini.”(Surah al-Balad: 2) bahwa Rasulullah (s.a.w) telah dihalalkan untuk melakukan apa saja dan sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak.
Ketika Ibn ‘Abbas mengetahui Rasulullah (s.a.w) menikah dengan Maimunah, beliau meyakini bahawa baginda melakukan demikian dalam keadaan berihram kerana baginda memiliki keistimewaan yang dibolehkan baginya melakukan segala sesuatu di tanah haram. Adapun, tafsiran Ibn Abbas masih diragukan kesahihannya.

5.    Memadu Istri dengan Bibinya
a.      Hadits 
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لَا يُجْمَعُ بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا , وَلَا بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayahnya dan antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya." Muttafaq Alaihi.

Gharib
-          لَا يُجْمَعُ, mabni li al-majhul dan huruf lam di sini sebagai nafi yang bermakna larangan (nahi).
-          وَعَمَّتِهَا, meskipun saudara perempuan ayahnya.
-          وَخَالَتِهَا, meskipun saudara perempuan ibunya sebagaimana disebutkan dalam riwayat al-Bukhari: “Maka kami berpendapat bahawa saudara perempuan ayahnya memiliki kedudukan yang sama dalam masalah masalah ini.”

b.      Penjelasan
Allah (s.w.t) menyebutkan wanita yang diharamkan untuk dinikahi sebagaimana dalam firman-Nya:
* àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷ƒr& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ ...  
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian...QS. An-Nisa:24)
Hadith ini sebagai pengecualian, di mana seseorang dilarang memadukan seorang wanita dengan saudara perempuan ayahnya atau memadukan seorang wanita dengan saudara perempuan ibunya dalam satu waktu.
Alasan larangan ini disebutkan dalam beberapa riwayat bahawa saudara perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan ibu.”Ketika ibu diharamkan untuk dinikahi anaknya, maka demikian pula dengan saudara perempuan, kerana saudara perempuan merupakan salah satu kerabat paling dekat dengannya. Demikian pula hukum dengan saudara perempuan ayahnya.
Tambahan pula bahawa memadukan seorang wanita dengan saudara perempuannya merupakan suatu perbuatan yang amat membahayakan, malah menyebabkan permusuhan di dalam keluarga sehingga dapat memutuskan silaturrahim.

Aspek Hukum Hadits
Haram memadu seorang wanita dengan saudara perempuan ayah mahupun saudara perempuan ibu berdasarkan ijma’ulama.
Dalam perkembangan lain, Abu Dawud menyebutkan lafaz hadith yang
berbeda:
كره أن يجمع بين العمة والخالة وبين العمتين والخالتين
Dimakruhkan memadu saudari ayah dengan saudari ibu atau memadu kedua
saudari ibu atau ayah.”Sanad hadith ini daif menurut al-Suyuthi sebagaimana dinukil dari al-Kamal al-Dairi.
Hal ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama, sehingga mereka mengartikannya sebagai majaz, kerana apa yang dilarang adalah memadu dua wanita yang salah seorang darinya adalah saudari ayah dan seorang lagi saudari ibu atau mereka berdua merupakan saudari ibu atau saudara ayah.

IV.       Kesimpulan
Ada beberapa pernikahan yang dilarang dalam agama Islam, diantaranya :
1.      Nikah Mut'ah; ialah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang laki-laki terhadap wanita dengan batas waktu tertentu, misalnya untuk satu hari, satu minggu dan seterusnya.
2.      Nikah Syighor; yakni seorang laki-laki memberikan saudara wanitanya, anak perempuannya/anak perempuan di bawah perwaliaannya kepada seorang laki-laki dengan imbalan diterimanya anak perempuan/saudara perempuan bawah perwaliaannya, tanpa memakai maskawin.
3.      Nikah Muhallil/Tahlill; suatu bentuk perkawinan yang semata-mata untuk menghalalkan kembalinya suami kepada mantan istrinya, akibat dari hak rujuk setelah talak ketiga.
4.      Menikah pada saat ihram
5.      Menikah dengan bibinya

VI.       Referensi
-          Al-Asqalany, Al-Hafidz Ibn Hajar, tt. Buluughul Maroom min Adillatil Ahkaam, Pekalongan: Raja Mjurah
-          Allusy, Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘, 2004, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulugh Al- Maram, Beirut: Dar al-Fikr.
-          Badru Salam, 2006, Terjemah Bulughul Marom, Bogor: Pustaka Ulil Albab

-          Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,  Semarang: PT Karya Thoha Putra, 1995 

No comments:

Post a Comment