Thursday, March 23, 2017

BAGIAN WARIS BAGI KAKEK/NENEK DARI CUCU

BAGIAN WARIS BAGI KAKEK/NENEK


I.            PENDAHULUAN
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya.
Demikian jugadengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimanacara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.

II.            PEMBAHASAN

وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَينٍ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ( إِنَّ اِبْنَ اِبْنِي مَاتَ , فَمَا لِي مِنْ مِيرَاثِهِ ? فَقَالَ : لَكَ اَلسُّدُسُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ، فَقَالَ: لَكَ سُدُسٌ آخَرُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ : إِنَّ اَلسُّدُسَ اَلْآخَرَ طُعْمَةٌ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ , وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَهُوَ مِنْ رِوَايَةِ اَلْحَسَنِ اَلْبَصْرِيِّ عَنْ عِمْرَانَ , وَقِيلَ : إِنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ 
Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Cucu laki-laki dari putraku meninggal dunia, berapa bagianku dari harta peninggalannya? Beliau bersabda: "Untukmu seperenam." Ketika dia berpaling beliau memanggilnya dan bersabda: "Untukmu seperenam lagi." Ketika dia berpaling beliau memanggilnya dan bersabda: "Yang seperenam lagi itu sebagai makanan." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dari riwayat Hasan Bashri dari Imran. Ada yang mengatakan: Dia tidak mendengar darinya.

Makna Hadits
Qatadah periwayat hadith ini dari al-Hasan dari ‘Imran pada bagian akhir hadith berkata: “Mereka tidak mengetahui berapakah bagian waris seorang kakek  terhadap harta cucunya.”Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
hal ini mempunyai tujuan tersendiri, tetapi ulama bersepakat bahwa kakek apabila bersama dua anak si mayat, maka dia mewarisi 1/6 terlebih dahulu, kemudian dia mewarisi 1/6 lagi kerana kedudukannya sebagai ‘ashbah. Karena itu, Rasulullah (s.a.w) memisahkan antara 2/6 dalam warisan agar seseorang tidak mengira kakek memperoleh seperti 2/3 dalam keadaan seperti ini.

Analisis Lafaz
وَلَّى,          pergi berpaling.
طُعْمَةٌ”,    tambahan ke atas bahagian yang yang telah ditentukan dalam warisan. Datuk mendapatkannya sebagai ‘ashabah.
إِنَّهُ,           yakni al-Hasan.
 مِنْهُ,          yakni ‘Imran bin al-Hushain.

Fiqh Hadith
1.      Kakek apabila bersama dua anak perempuan mendapat bagian 1/3; setengah dari bagian itu ditentukan secara fara’idh dan setengah dari bagian itu ditentukan secara ‘ashabah.
2.      Disunatkan untuk menentukan bahagian warisan dengan jelas.

Sebagai ahli waris, hak kewarisan kakek sama dengan hak kewarisan ayah, dan ia dihijab oleh ayah karena hubungannya kepada pewaris adalah melalui ayah. Kakek dapat mewarisi bersama anak, cucu, ibu, duda maupun janda. Adapun alternatif hak kewarisan kakek itu adalah:
1.         Seperenam (1/6), apabila kakek mewarisi bersama anak atau cucu laki-laki. Sementara cucu perempuan boleh ada atau tidak ada, karena tidak berpengaruh. Dasarnya adalah hadis dari imran bin husein yang telah dikemukakan diatas. Termasuk juga surat An-Nisak 11 tentang hak kewarisan ayah. contohnya: ahli waris terdiri dari kakek, 1 anak laki-laki, suami.
2.      Bagian mereka masing-masing adalah: kakek 1/6. 1 anak laki-laki sisa (asabah). Suami 1/4. Asal masalanya 12. Kakek 2/12. suami 3/12. 1 anak laki-laki 7/12.
Seperenam (1/6) dan sisa, yaitu jika kakek mewarisi bersama anak atau cucu perempuan, dan ketika tidak ada anak atau cucu laki-laki. Hal ini berarti bahwa pada mulanya kakek diberi hak 1/6 sebagai zul furudl, kemudian setelah dibagi kepada ahli waris zul furudl yang lain, dan ternyata masih bersisa, maka sisanya itu adalah untuk kakek dalam status asabah. Kakek diposisikan lebih dahulu sebagai zul furudl, dan kemudian sebagai asabah, karena dengan kedudukannya sebagai zul furudl minimal ia mendapat 1/6. Sedangkan dalam status asabah saja ada kemungkinan kakek mendapat kurang lebih dari 1/6 atau tidak mendapat bagian sama sekali. Contohnya: ahli waris terdiri dari kakek, 1 anak perempuan, ibu. Bagian mereka masing-masing adalah: kakek 1/6 + sisa. 1 anak perempuan 1/2. Ibu 1/6. Asal masalahnya adalah: 6. 1 anak perempuan 3/6. Ibu 1/6. Kakek 1/6 ditambah sisa harta 1/6 maka bagian kakek 2/6.
3.      Sisa harta sebagai asabah, yaitu bila kasus kewarisan tidak ada anak atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan.
Contohnya: ahli waris terdiri dari suami, ibu, kakek. Bagian mereka adalah.
Suami 1/2 karena tidak ada anak atau cucu. Ibu 1/3 karena tidak ada anak atau cucu dan tidak ada dua orang saudara atau lebih. Kakek mendapat sisa (asabah) karena tidak ada anak atau cucu. Asal masalahnya 6. Suami ½ menjadi 3/6. Ibu 1/3 menjadi 2/6. Kakek mendapat sisa (asabah) yaitu 1/6.

Apabila melihat kepada ajaran Patrilinial, kedudukan kakek sebenarnya cukup penting dimana dalam susunan masyarakat patrilinial, kakek merupakan seorang tokoh sentral dan mempunyai peran yang sangat penting dalam keluarganya. Banyak pendapat yang dikemukakan terkait dengan posisi kakek yang salah satunya adalah "Al-jaddu abun" yang berarti kakek juga merupakan ayah.[1]
Pengertian untuk kakek, dalam beberapa mazhab seperti mazhab Syafi'i dibagi menjadi dua pengertian yaitu untuk kakek yang berasal dari ibu dan kakek yang berasal dari ayah atau yang sering dikenal juga dengan istilah Kakek Sahih.[2]
Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri jenis wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek yang berasal garis wanita disebut sebagai Kakek Ghairu Shahih.[3] misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah. Hal ini didasarkan sesuai dengan kaidah yang ada di dalam faraid: "bilamana unsur wanita masuk ke dalam nasab laki-laki, maka kakek menjadi rusak nasabnya.Namun bila tidak termasuki unsur wanita, itulah kakek yang sahih."[4]
Kakek termasuk pada golongan ahli waris yang terhijab (terhalang) kewarisannya apabila pada saat kewarisan masih didapati adanya bapak dan digolongkan juga sebagai Asabah Binafsihi apabila melihat pada mazhab Syafi'i yaitu kerabat laki-laki yang dihubungkan dengan pewaris tanpa diselingi oleh seorang perempuan.
Ketentuan besar harta warisan bagi kakek sahih, menurut A. Hassan, adalah surah an-Nisa ayat 11. Sunnah Rasulullah, di antaranya diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Tarmidzi dari Imran bin Hushain: "Bahwasanya datang seorang laki-laki kepada Nabi Muhammad SAW bertanya: "Anak laki-laki saya punya anak laki-laki, mati. Maka berapa bagian saya dari (harta) peninggalannya?" Sabdanya: "Seperenam."
Tatkala orang itu berpaling sabdanya: "Seperenam yang belakangan itu pemberian."[5]
Hadis lain diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud, bahwa, "Telah berkata Ma'qil bin Jassar Al-Muzzani: "Rasulullah SAW telah hukumkan datuk (kakek) dapat seperenam."[6]
Hadis lainnya diriwayatkan Ad-Daramie dari Sya'bi, bahwa "Umar membagi rata antara datuk (kakek) dengan seorang saudara laki-laki. Apabila mereka lebih (dari dua orang) ia beri datuk sepertiga (1/3); dan Umar beri kepada datuk seperenam (1/6), kalau si mati (pewaris) meninggal anak."[7]
Karena itu, menurut ajaran ini, jika kakek menjadi ahli waris bersama­sama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris dan ayah pewaris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka kakek pewaris (kakek sahih) mendapat seperenam (1/6) harta warisan.[8]
Apabila seorang meninggal dunia meninggalkan anak perempuan atau cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris, dan tidak ada anak laki-laki maupun cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris, dimana ayah pewaris juga telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, tetapi masih terdapat ahli waris lain yaitu ibu pewaris, suami atau isteri pewaris, maka kakek sahih mendapat seperenam harta warisan.[9]
Apabila sesudah dibagikan kepada para ahli waris dzul faraaidh tersebut ternyata masih ada sisa bagi (radd), maka sisa bagi tersebut diberikan kepada kakek sahih sebagai asabah binafsihi. Dasar hukum dari ketentuan tersebut adalah Q.4:1 jo. Q.4:11 d jo. Hadis Ibnu 'Abbas tentang liaula rajulin zakarin.[10]
Hazairin tidak membedakan antara kedudukan kakek melalui ayah, dan kakek melalui ibu.93 Mereka mempunyai kedudukan yang sama, dan dapat bersama-sama menjadi ahli waris, selama syarat-syarat untuk menjadi kelompok keutamaan keempat telah terpenuhi.
Berdasarkan ajaran kewarisan bilateral, kakek tidak dimasukkan kedalam kelompok keutamaan menurut Al-Qur'an dan tidak menduduki tempat utama, karena tidak disebutkannya pembagian untuk kakek di dalam Al-Qur'an maka dipergunakanlah hadis-hadis Rasul dan Atsar sahabat Rasul sebagai pedoman penataan warisan kepada kakek, tetapi tidak menjadikan kakek kemudian memiliki kedudukan yang seimbang dengan ahli waris lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur'an.[11]
Apabila pewaris tidak meninggalkan anak beserta keturunannya sebagai ahli waris kategori utama kelompok keutamaan pertama, dan tidak meninggalkan saudara beserta keturunannya sebagai ahli waris kategori utama kelompok keutamaan kedua, serta ayah dan ibu pewaris sebagai ahli waris kategori utama kelompok keutamaan ketiga telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka kakek dan nenek dapat rampil sebagai ahli waris selaku mawali dari ayah dan atau ibu bersama janda atau duda sebagai ahli waris dari kelompok keutamaan keempat.[12]
Ketentuan besar bagian kakek tidak ditentukan secara qat'i dalam Al- Qur'an. Menurut kewarisan Islam bilateral Hazairin, kakek selaku mawali ayah atau mawali ibu, sehingga menurut Neng Djubaedah, S.H., M.H, dalam bukunya Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, bagian untuk kakek, dengan memuat ajaran bilateral Hazairin, tergantung dari garis yang menghubungkan kakek dengan pewaris dalam garis lurus ke atas, apakah kakek dari ayah atau kakek dari ibu.[13]
Apabila ada seorang meninggal dunia meninggalkan kakek dari ayah dan kakek dari ibun maka besar bagian kakek dari ibu adalah sebesar bagian yang diterima oleh ibu seandainya ibu masih ibu yaitu satu per tiga (1/3) sebagai dzul faraaidh. Kakek dari ayah menerima harta warisan sebesar bagian ayah seandainya ayah masih hidup, yaitu mendapatkan sisa sebesar dua per tiga (2/3) harta warisan sebagai dzul qarabat, dan seterusnya dalam garis lurus ke atas.[14]
Ketentuan bagian kakek sama dengan ketentuan bagian ayah apabila ayah tidak ada. Tetapi mempunyai perbedaan dalam hal kakek tidak menutup saudara-saudara kandung atau seayah. Oleh karena kedudukan kakek menggantikan kedudukan ayah, maka kakek tertutup oleh ayah.[15]
Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan besar bagian harta warisan kakek secara eksplisit. Kedudukan kakek sebagai ahli waris dapat ditafsirkan secara acontrario dari pasal 185 KHI yang menentukan ahli waris pengganti.[16]
Apabila cucu dapat berkedudukan sebagai ahli waris pengganti dari anaknya kakek yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris (kakek), maka kedudukan kakek pun dapat menempati kedudukan anaknya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari cucunya.[17]
Text Box:  Nenek, kakek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris merupakan golongan ketiga153 dimana golongan tersebut baru dapat mewaris apabila si pewaris tidak meninggalkan suami atau isteri, keturunan, orang tua, saudara dan keturunan dari saudara. Apabila golongan tersebut mewaris, maka terlebih dahulu dilakukan kloving atau pembelahan.
Bagian untuk ahli waris golongan ketiga berdasarkan Pasal 853 BW adalah sebagai berikut:[18]
1.      Setengah (1/2) bagian dari harta warisan, diberikan kepada kakek, nenek dan seterusnya dalam garis lurus keatas dari pihak ayah;
2.      Setengah (1/2) bagian dari harta warisan, diberikan kepada kakek, nenek dan seterusnya dalam garis lurus keatas dari pihak ibu.

III.            KESIMPULAN
Berdasarkan teori-teori dan analisa yang telah diberikan di atas, penulis kemudian mengambil kesimpulan antara lain:
a.       Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kakek termasuk kedalam golongan ketiga yang mendapatkan bagian harta masing­masing setengah (1/2) dari seluruh bagian harta setelah dilakukan kloving. Dalam ajaran Bilateral Hazairin kakek termasuk kedalam golongan keempat yang mendapatkan bagian harta selaku mawali dari ayah ataupun ibu. Dalam ajaran Patrilinial Syafi'i kakek sahih dapat mendapatkan seluruh harta sebagai asabah binafsihi.
b.      Berdasarkan ajaran kewarisan Bilateral Hazairin, dan ajaran kewarisan Patrilinial Syafi'i terkait dengan bagian harta warisan yang diterima oleh saudara, dimana dalam sistem kewarisan perdata, saudara (baik sekandung, seayah, maupun seibu) apabila mewaris sendiri (tidak bersama ayah dan atau ibu) akan mendapatkan warisan kepala per kepala, sementara dalam ajaran Bilateral Hazairin, tidak terdapat perbedaan antara saudara kandung, seayah, maupun seibu. Dalam ajaran kewarisan Patrilinial Syafi'i, terdapat pembedaan antara saudara seibu dengan saudara kandung dan saudara seayah, dimana saudara seibu mendapatkan bagian tetap yaitu seperenam (1/6) bagian harta,


IV.            Saran
1.      Apabila terjadi kasus kewarisan untuk kakek bersama dengan saudara, untuk umat Islam sebaiknya menggunakan hukum kewarisan Islam, karena selain lebih melindungi kedudukan kakek, juga menjalan syariat Islam.
2.      Dibentuk suatu peraturan baru dalam bentuk Undang-Undang yang mana mencakup pula Hadis-Hadis yang berkaitan dengan bagian warisan yang diterima oleh kakek, karena hingga saat ini, tidak ada pengaturan secara jelas yang termuat dalam hukum positif Indonesia yang terkait dengan bagian warisan yang diterima oleh kakek kecuali yang termuat dalam Kitab Undang­Undang Hukum Perdata.



DAFTAR PUSTAKA





Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalany, Bulughul al-Maram Min Adillah al-Ahkam (Pekalongan, Raja Murah,tt)

Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Waris Islam. edisi IX Yogyakarta: Bagian Penerbitan

Djubaedah, Neng. "Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Pendeglang. Banten". Depok: Fakultas Hukum Program Pascasarjana. tahun 2000

Fakultas Ekonomi Universitas Islam Yogyakarta. 1990

Hasan Sulaiman al-Nuri, Alawi Abbas al-Maliki, Ibanah al Hakam Syarh Bulughul sl_marram, Beirut: Dar al-Fikr, 1994)

http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/Islam/Waris/Kakek.html

Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. cet. 9 Jakarta: Sinar Grafika. 2008



[1] Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. cet. 9 Jakarta: Sinar Grafika. 2008, hlm. 166
[2] Djubaedah, Neng. "Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Pendeglang. Banten". Depok: Fakultas Hukum Program Pascasarjana. tahun 2000, hlm. 83
[3] Ibid.
[4] http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/Islam/Waris/Kakek.html
[5] Djubaedah, Neng, Op.cit. hlm 184
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid., hlm 186
[11] Ibid
[12] Djubaedah dan Yati N. Soelistijono, op.cit, hal. 181
[13] Ibid
[14] Ibid. hal. 182
[15] Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Waris Islam. edisi IX Yogyakarta: Bagian Penerbitan
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Yogyakarta. 1990, hlm. 38
[16] Djubaedah dan Yati N. Soelistijono, op.cit, hal 189
[17] Ibid
[18] Benyamin Asri, op.cit, hlm. 10

No comments:

Post a Comment