BAGIAN WARIS BAGI KAKEK/NENEK
I.
PENDAHULUAN
Proses perjalanan kehidupan manusia
adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum
kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat
dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya
hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum
antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya.
Demikian jugadengan kematian
seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat
dan lingkungan sekitarnya, selain itu kematian tersebut menimbulkan kewajiban
orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan
jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis,
yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli
waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang
mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimanacara
penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama
Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama Ilmu
Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Dalam hukum waris tersebut
ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa yang berhak
mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-masing
bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang
berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.
II.
PEMBAHASAN
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَينٍ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ( إِنَّ اِبْنَ اِبْنِي مَاتَ , فَمَا
لِي مِنْ مِيرَاثِهِ ? فَقَالَ : لَكَ اَلسُّدُسُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ،
فَقَالَ: لَكَ سُدُسٌ آخَرُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ : إِنَّ اَلسُّدُسَ
اَلْآخَرَ طُعْمَةٌ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ , وَصَحَّحَهُ
اَلتِّرْمِذِيُّ وَهُوَ مِنْ رِوَايَةِ اَلْحَسَنِ اَلْبَصْرِيِّ عَنْ
عِمْرَانَ , وَقِيلَ : إِنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ
Imran Ibnu
Hushoin Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Cucu laki-laki dari putraku
meninggal dunia, berapa bagianku dari harta peninggalannya? Beliau bersabda:
"Untukmu seperenam." Ketika dia berpaling beliau memanggilnya dan
bersabda: "Untukmu seperenam lagi." Ketika dia berpaling beliau
memanggilnya dan bersabda: "Yang seperenam lagi itu sebagai makanan."
Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dari riwayat Hasan
Bashri dari Imran. Ada yang mengatakan: Dia tidak mendengar darinya.
Makna Hadits
Qatadah periwayat
hadith ini dari al-Hasan dari ‘Imran pada bagian akhir hadith berkata: “Mereka
tidak mengetahui berapakah bagian waris seorang kakek terhadap harta cucunya.”Diriwayatkan oleh Abu
Dawud.
hal ini mempunyai
tujuan tersendiri, tetapi ulama bersepakat bahwa kakek apabila bersama dua anak
si mayat, maka dia mewarisi 1/6 terlebih dahulu, kemudian dia mewarisi 1/6 lagi
kerana kedudukannya sebagai ‘ashbah. Karena itu, Rasulullah (s.a.w) memisahkan
antara 2/6 dalam warisan agar seseorang tidak mengira kakek memperoleh seperti
2/3 dalam keadaan seperti ini.
Analisis Lafaz
وَلَّى, pergi berpaling.
“طُعْمَةٌ”,
tambahan ke atas bahagian yang yang
telah ditentukan dalam warisan. Datuk mendapatkannya sebagai ‘ashabah.
إِنَّهُ,
yakni al-Hasan.
مِنْهُ, yakni ‘Imran bin
al-Hushain.
Fiqh Hadith
1.
Kakek apabila bersama dua
anak perempuan mendapat bagian 1/3; setengah dari bagian
itu ditentukan secara fara’idh dan setengah dari bagian
itu ditentukan secara ‘ashabah.
2.
Disunatkan untuk menentukan bahagian
warisan dengan jelas.
Sebagai ahli waris, hak
kewarisan kakek sama dengan hak kewarisan ayah, dan ia dihijab oleh ayah karena
hubungannya kepada pewaris adalah melalui ayah. Kakek dapat mewarisi bersama anak,
cucu, ibu, duda maupun janda. Adapun
alternatif hak kewarisan kakek itu adalah:
1.
Seperenam (1/6),
apabila kakek mewarisi bersama anak atau cucu laki-laki. Sementara cucu
perempuan boleh ada atau tidak ada, karena tidak berpengaruh. Dasarnya adalah hadis
dari imran bin husein yang telah dikemukakan
diatas. Termasuk juga surat An-Nisak 11 tentang hak kewarisan ayah. contohnya: ahli waris
terdiri dari kakek, 1 anak laki-laki, suami.
2.
Bagian mereka
masing-masing adalah: kakek 1/6. 1 anak laki-laki sisa (asabah). Suami 1/4. Asal
masalanya 12. Kakek 2/12. suami 3/12. 1 anak laki-laki 7/12.
Seperenam (1/6) dan
sisa, yaitu jika kakek mewarisi bersama anak atau cucu perempuan, dan ketika tidak ada
anak atau cucu laki-laki. Hal ini berarti bahwa pada mulanya kakek diberi
hak 1/6 sebagai zul furudl, kemudian
setelah dibagi kepada ahli waris zul furudl yang lain, dan ternyata
masih bersisa,
maka sisanya itu adalah untuk kakek dalam status asabah. Kakek diposisikan lebih
dahulu sebagai zul furudl, dan kemudian sebagai asabah, karena dengan
kedudukannya sebagai zul furudl minimal ia mendapat 1/6. Sedangkan dalam status
asabah saja ada kemungkinan kakek mendapat kurang lebih dari 1/6 atau tidak
mendapat bagian sama sekali. Contohnya: ahli waris terdiri
dari kakek, 1 anak perempuan, ibu. Bagian mereka masing-masing adalah: kakek
1/6 + sisa. 1 anak perempuan 1/2. Ibu 1/6. Asal masalahnya adalah: 6. 1 anak
perempuan 3/6. Ibu 1/6. Kakek 1/6 ditambah sisa harta 1/6 maka bagian kakek
2/6.
3.
Sisa harta sebagai
asabah, yaitu bila kasus kewarisan tidak ada anak atau cucu, baik laki-laki maupun
perempuan.
Contohnya: ahli waris
terdiri dari suami, ibu, kakek. Bagian mereka adalah.
Suami 1/2 karena tidak
ada anak atau cucu. Ibu 1/3 karena tidak ada anak atau cucu dan tidak ada dua orang
saudara atau lebih. Kakek mendapat sisa (asabah) karena tidak ada anak
atau cucu. Asal masalahnya 6. Suami ½ menjadi 3/6. Ibu 1/3 menjadi 2/6. Kakek mendapat sisa
(asabah) yaitu 1/6.
Apabila
melihat kepada ajaran Patrilinial, kedudukan kakek sebenarnya cukup penting dimana
dalam susunan masyarakat patrilinial, kakek merupakan seorang tokoh sentral dan mempunyai
peran yang sangat penting
dalam keluarganya. Banyak pendapat yang dikemukakan terkait dengan posisi kakek
yang salah satunya adalah "Al-jaddu abun" yang berarti kakek juga merupakan
ayah.[1]
Pengertian untuk kakek, dalam beberapa mazhab seperti mazhab Syafi'i
dibagi menjadi dua pengertian yaitu untuk kakek yang berasal dari ibu dan kakek
yang berasal dari ayah atau yang sering dikenal juga dengan istilah Kakek
Sahih.[2]
Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris
tidak tercampuri jenis wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya.
Sedangkan kakek yang berasal garis wanita disebut sebagai Kakek Ghairu Shahih.[3] misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah. Hal ini didasarkan
sesuai dengan kaidah yang ada di dalam faraid: "bilamana unsur wanita
masuk ke dalam nasab laki-laki, maka kakek menjadi rusak nasabnya.Namun bila
tidak termasuki unsur wanita, itulah kakek yang sahih."[4]
Kakek termasuk pada golongan ahli waris yang terhijab (terhalang) kewarisannya
apabila pada saat kewarisan masih didapati adanya bapak dan digolongkan juga
sebagai Asabah Binafsihi apabila melihat pada mazhab Syafi'i yaitu kerabat
laki-laki yang dihubungkan dengan pewaris tanpa diselingi oleh seorang
perempuan.
Ketentuan besar harta warisan bagi kakek sahih, menurut A. Hassan, adalah
surah an-Nisa ayat 11. Sunnah Rasulullah, di antaranya diriwayatkan oleh Ahmad,
Abu Daud, dan Tarmidzi dari Imran bin Hushain: "Bahwasanya datang seorang
laki-laki kepada Nabi Muhammad SAW bertanya: "Anak laki-laki saya punya
anak laki-laki, mati. Maka berapa bagian saya dari (harta)
peninggalannya?" Sabdanya: "Seperenam."
Tatkala orang itu berpaling sabdanya: "Seperenam yang
belakangan itu pemberian."[5]
Hadis lain diriwayatkan Ahmad dan Abu
Daud, bahwa, "Telah berkata Ma'qil bin Jassar Al-Muzzani: "Rasulullah SAW
telah hukumkan datuk (kakek) dapat seperenam."[6]
Hadis lainnya diriwayatkan
Ad-Daramie dari Sya'bi, bahwa "Umar membagi rata antara datuk (kakek) dengan seorang
saudara laki-laki. Apabila mereka lebih (dari dua orang) ia beri datuk sepertiga
(1/3); dan Umar beri kepada datuk seperenam (1/6), kalau si mati (pewaris) meninggal
anak."[7]
Karena itu, menurut ajaran ini, jika kakek menjadi ahli waris
bersamasama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris dan ayah pewaris
telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka kakek pewaris (kakek
sahih) mendapat seperenam (1/6) harta warisan.[8]
Apabila seorang meninggal dunia
meninggalkan anak perempuan atau cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris, dan
tidak ada anak laki-laki maupun cucu laki-laki melalui anak laki-laki
pewaris, dimana ayah pewaris juga telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, tetapi masih terdapat ahli waris lain yaitu ibu pewaris, suami atau isteri
pewaris, maka kakek sahih mendapat seperenam harta warisan.[9]
Apabila sesudah dibagikan kepada para ahli waris dzul faraaidh tersebut ternyata masih ada sisa bagi (radd), maka sisa bagi tersebut
diberikan kepada kakek sahih sebagai asabah binafsihi. Dasar hukum dari ketentuan tersebut adalah
Q.4:1 jo. Q.4:11 d jo. Hadis Ibnu 'Abbas tentang liaula rajulin zakarin.[10]
Hazairin tidak membedakan antara
kedudukan kakek melalui ayah, dan kakek melalui ibu.93 Mereka
mempunyai kedudukan yang sama, dan dapat bersama-sama menjadi ahli waris, selama
syarat-syarat untuk menjadi kelompok keutamaan keempat telah terpenuhi.
Berdasarkan ajaran kewarisan
bilateral, kakek tidak dimasukkan kedalam kelompok keutamaan menurut Al-Qur'an dan tidak menduduki tempat utama, karena tidak
disebutkannya pembagian untuk kakek di dalam Al-Qur'an maka
dipergunakanlah hadis-hadis Rasul dan Atsar sahabat Rasul sebagai pedoman
penataan warisan kepada kakek, tetapi tidak menjadikan kakek kemudian memiliki kedudukan yang seimbang dengan ahli waris lainnya yang disebutkan
dalam Al-Qur'an.[11]
Apabila pewaris tidak meninggalkan
anak beserta keturunannya sebagai ahli waris kategori utama kelompok keutamaan pertama, dan tidak meninggalkan
saudara beserta keturunannya sebagai ahli waris kategori utama kelompok
keutamaan kedua, serta ayah dan ibu pewaris sebagai ahli waris kategori utama kelompok keutamaan ketiga telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka kakek dan nenek dapat rampil sebagai
ahli
waris selaku mawali dari ayah dan atau ibu bersama janda atau duda
sebagai ahli waris dari kelompok keutamaan keempat.[12]
Ketentuan besar bagian kakek
tidak ditentukan secara qat'i dalam Al- Qur'an. Menurut kewarisan Islam
bilateral Hazairin, kakek selaku mawali ayah atau mawali
ibu, sehingga menurut Neng Djubaedah, S.H., M.H, dalam bukunya Hukum Kewarisan
Islam di Indonesia, bagian untuk kakek, dengan memuat ajaran bilateral
Hazairin, tergantung dari garis yang menghubungkan kakek dengan pewaris dalam
garis lurus ke atas, apakah kakek dari ayah atau kakek dari ibu.[13]
Apabila ada seorang meninggal dunia
meninggalkan kakek dari ayah dan kakek dari ibun maka besar bagian kakek dari
ibu adalah sebesar bagian yang diterima oleh ibu seandainya ibu masih ibu yaitu
satu per tiga (1/3) sebagai dzul faraaidh. Kakek dari ayah menerima harta
warisan sebesar bagian ayah seandainya ayah masih hidup, yaitu mendapatkan sisa
sebesar dua per tiga (2/3) harta warisan sebagai dzul qarabat, dan seterusnya
dalam garis lurus ke atas.[14]
Ketentuan bagian kakek sama dengan
ketentuan bagian ayah apabila ayah tidak ada. Tetapi mempunyai perbedaan dalam
hal kakek tidak menutup saudara-saudara kandung atau seayah. Oleh karena
kedudukan kakek menggantikan kedudukan ayah, maka kakek tertutup oleh ayah.[15]
Kompilasi Hukum Islam tidak
menentukan besar bagian harta warisan kakek secara eksplisit. Kedudukan kakek
sebagai ahli waris dapat ditafsirkan secara acontrario dari pasal 185 KHI yang
menentukan ahli waris pengganti.[16]
Apabila cucu dapat berkedudukan
sebagai ahli waris pengganti dari anaknya kakek yang telah meninggal dunia
terlebih dahulu dari pewaris (kakek), maka kedudukan kakek pun dapat menempati
kedudukan anaknya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari cucunya.[17]
Nenek, kakek,
dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris merupakan golongan ketiga153
dimana golongan tersebut baru dapat mewaris apabila si pewaris tidak
meninggalkan suami atau isteri, keturunan,
orang tua, saudara dan keturunan dari saudara. Apabila golongan tersebut mewaris, maka terlebih dahulu dilakukan kloving atau
pembelahan.
Bagian untuk ahli waris golongan ketiga
berdasarkan Pasal 853 BW adalah sebagai berikut:[18]
1.
Setengah (1/2) bagian
dari harta warisan, diberikan kepada kakek, nenek dan seterusnya dalam garis
lurus keatas dari pihak ayah;
2.
Setengah (1/2) bagian
dari harta warisan, diberikan kepada kakek, nenek
dan seterusnya dalam garis lurus keatas
dari pihak ibu.
III.
KESIMPULAN
Berdasarkan
teori-teori dan analisa yang telah diberikan di atas, penulis
kemudian mengambil kesimpulan antara lain:
a.
Berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, kakek termasuk kedalam golongan
ketiga yang mendapatkan bagian harta masingmasing setengah
(1/2) dari seluruh bagian harta setelah dilakukan kloving. Dalam ajaran
Bilateral Hazairin kakek termasuk kedalam golongan keempat yang
mendapatkan bagian harta selaku
mawali dari ayah ataupun ibu. Dalam ajaran Patrilinial Syafi'i kakek
sahih dapat mendapatkan seluruh harta sebagai asabah binafsihi.
b.
Berdasarkan ajaran
kewarisan Bilateral Hazairin, dan
ajaran kewarisan Patrilinial Syafi'i terkait dengan
bagian harta warisan yang diterima oleh saudara, dimana dalam sistem
kewarisan
perdata, saudara (baik sekandung,
seayah, maupun seibu) apabila mewaris sendiri (tidak bersama
ayah dan atau ibu) akan mendapatkan warisan
kepala per kepala, sementara dalam ajaran Bilateral Hazairin, tidak terdapat perbedaan
antara saudara kandung, seayah, maupun seibu. Dalam ajaran kewarisan Patrilinial Syafi'i, terdapat
pembedaan antara saudara seibu
dengan saudara kandung dan saudara seayah, dimana saudara seibu mendapatkan bagian tetap yaitu seperenam
(1/6) bagian harta,
IV.
Saran
1.
Apabila terjadi kasus kewarisan untuk
kakek bersama dengan saudara, untuk umat Islam sebaiknya menggunakan hukum
kewarisan Islam, karena selain lebih melindungi kedudukan kakek, juga menjalan
syariat Islam.
2.
Dibentuk suatu peraturan baru dalam
bentuk Undang-Undang yang mana mencakup pula Hadis-Hadis yang berkaitan dengan
bagian warisan yang
diterima oleh kakek, karena hingga saat ini, tidak ada pengaturan secara jelas yang termuat dalam
hukum positif Indonesia yang terkait dengan bagian warisan yang diterima oleh
kakek kecuali yang termuat dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalany, Bulughul
al-Maram Min Adillah al-Ahkam (Pekalongan, Raja Murah,tt)
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Waris
Islam. edisi IX Yogyakarta: Bagian Penerbitan
Djubaedah, Neng. "Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Pendeglang. Banten".
Depok: Fakultas Hukum
Program Pascasarjana. tahun 2000
Fakultas Ekonomi Universitas Islam
Yogyakarta. 1990
Hasan Sulaiman al-Nuri, Alawi Abbas al-Maliki, Ibanah al Hakam
Syarh Bulughul sl_marram, Beirut: Dar al-Fikr, 1994)
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/Islam/Waris/Kakek.html
Thalib, Sajuti. Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia. cet. 9 Jakarta: Sinar Grafika. 2008
[1] Thalib,
Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. cet. 9 Jakarta: Sinar
Grafika. 2008,
hlm. 166
[2] Djubaedah,
Neng. "Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Pendeglang. Banten".
Depok: Fakultas Hukum Program
Pascasarjana. tahun 2000, hlm. 83
[3] Ibid.
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid., hlm 186
[11] Ibid
[12] Djubaedah dan Yati N.
Soelistijono, op.cit, hal. 181
[13] Ibid
[14] Ibid. hal. 182
[15] Basyir, Ahmad Azhar. Hukum
Waris Islam. edisi IX Yogyakarta: Bagian Penerbitan
Fakultas
Ekonomi Universitas Islam Yogyakarta. 1990, hlm. 38
[16] Djubaedah dan Yati N. Soelistijono,
op.cit, hal 189
[17] Ibid
[18] Benyamin Asri, op.cit,
hlm. 10
No comments:
Post a Comment